Cerita Perjalanan : Hanya Kebetulan

"Jar, maaf ngga bisa bareng, saya absen 7.12 tadi," ucap Pak Anthony, pegawai yang kelewat baik di seksi lamaku.

"Yahh, kalo Pak Helmi mau pulang jam berapa?" tanyaku mencari alternatif. 

"Saya mah absen 17.30, Jar," jawabnya. Hiyahhh bukan pilihan. 

"Yaudah saya ngegrab aja," jawabku. 

"Jangan ngambek gitu, biasanya bareng Rizky, apa saya yang perlu bilang?" sindir Pak Anthony. Ishh...

"Yaudah ayo bareng aku aja to," tawar Mas Rama, pelaksana yang menggantikan posisiku. 

Akupun segera ke lantai dua, menyaksikan antrian absen pertama di kantor baru. Biasa, hari Jum'at, dan kebetulan long weekend bagi yang mengambil cuti. 

16.32 - Terima kasih
Bunyi absen segera bersautan. 

Aku segera berlari menyandang ranselku, memarkirkan motorku di tempat berkanopi, dan segera membuka aplikasi berlatar hijau putih itu. 

Hingga akhirnya. 
"Jar, mau bareng? Ke Rawabango kan?" Kulihat Pak Triawan menyapaku sambil membuka kaca mobil Pak Rah-Is. 

"Yeayyy. Iya, iya, Pak. Bareng ya?" aku spontan melompat karena terlalu senang. 
Kulihat memang masih ada satu tempat lagi di mobil Pak Rah-Is, di kursi belakang bersama Pak Triawan. 

"Yang punya mobil siapa, yang nawarin tebengan siapa," ucap Pak Triawan mencairkan suasana. Oh ya, ada Pak Dedi yang duduk di depan menemani Pak Rah-Is.
Tidak usah heran mengapa Pak Triawan bisa tau ke mana tujuanku. Dua hari ini dia selalu menanyakan, cuti sehari jar? Naik apa jar? Naik dari mana jar? 
Entah karena dia memang lupa terhadap hal sepele atau memang dia hobi bertanya aku pun kurang tahu mengapa dia selalu menanyakan hal yang sama berkali-kali. 

"Pulangnya hari Selasa ya, Jar? Langsung jaga di depan dong hari Rabu?" ucap Pak Rah-Is membuka pembicaraan. 

"Oh iya, pindah ke pelayanan ya, Jar? Bagian apa?" sambung Pak Triawan. 

"Iya, Pak. Sedih sih, jetlag, tapi ya yaudahlah," jawabku sendu, "belum tau, Pak, yang jelas diminta di depan," sambungku untuk pertanyaan Pak Triawan. 

"Pak, Pak. Mas!" tegur Pak Triawan. 

Yaps. Aku terbiasa memanggil senior dengan sebutan "Pak", apalagi Pak Triawan juga seorang AR. Tapi, dia akan selalu menyanggahku ketika aku auto memanggilnya dengan sapaan "Pak", meminta diralat menjadi "Mas" karena umur kami hanya selisih sembilan tahun. 

"Loh, kenapa sedih? Harusnya kamu seneng atuh, beruntung jadi orang-orang pilihan, ngga semua bisa duduk di depan loh, butuh yang fresh kan suasana kantor baru," ucap Pak Dedi disetujui Pak Rah-Is. 
Yahh, entah orang ke berapa yang berusaha menghiburku atas mutasi internal ini. 
Kalem, Pak. Saya hanya butuh waktu untuk beradaptasi kaya SPBU, dimulai dari nol ya? 

"Hati-hati ya, Jar," ucap bapak-bapak-mas di dalam mobil itu bergantian ketika aku turun dan mengucapkan terima kasih. Bahkan Pak Triawan mengucapkan dua kali, hadeh, pelupa banget pak?

Dengan berlari-lari kecil aku memasuki terminal kecil menuju agen bus Rajawali.
"Bus ke Solo belum berangkat kan, Pak?" ucapku to the point karena dari jauh sudah ditatap dengan pandangan tak enak. 

"Udah dari tadi," jawab bapaknya. 

"Serius? Pasti belum," balasku santai. 

"Udah, yang jam berapa emang?" tantang bapaknya. 

"Jam empat pak,"

"Udah, lha ini jam berapa?"

"Biasanya setengah lima masih bisa, Pak," yaampun ngeyel banget saya. 

"Jam setengah lima, ini udah jam lima," ucap bapaknya. Aku melirik jam di ponsel. Lah, cepet banget jam lima? Duh, bapaknya badmood

"Ya maaf pak, kantor saya kan pindah ke Arif Rahman Hakim," belaku. 

"Udah berangkat, yang ini udah berangkat tadi," jawab bapaknya menunjuk buku tulis di lajur kiri. 

"Nah saya yang ini, Pak," balasku menunjuk buku tulisnya di lajur kanan. 

"Atas nama siapa?"

"Fajar, Pak," eheheh bapaknya mengalah lalu menuliskan namaku di tiket. 

"Datang koq mepet banget, untung busnya kena macet karena hujan, tadinya emang ngga mau saya hubungi lagi sekarang kalo ngga stand by," oceh bapaknya lagi. 

"Makasih, Pak," ucapku, enggan merespons lebih. Tepat saat aku keluar, muncullah bus yang akan kutumpangi. MasyaAllah pas banget, engga telat, dan engga perlu menunggu.

Aku pun duduk di kursi nomor 26 dengan seorang mas-mas yang sudah anteng duduk di nomor 25.

"Turun di mana mbak?" tanya penumpang kursi 25.

"Solo, mas," jawabku singkat.

"Asli Solo?" tanyanya lagi. Ini pertanyaan standar banget ketika kalian naik kendaraan umum.

"Iya. Masnya juga asli Solo?" balasku sekadar menghargai usahanya mengajak berbicara.

"Saya Klaten, Mbak," jawabnya.
Sebenarnya aku tak berminat mengobrol banyak dengan mas-mas ini, karena -monmaap nih- aku tak sengaja melihat bibirnya hitam, itu artinya mungkin masnya perokok. Monmaap banget nih ya bukan gimana-gimana saya kurang suka berinteraksi sama perokok, bakal auto nutup hidung kalo ada asap rokok. Lagi, merokok itu ngga ada untungnya, kesehatan buruk, ekonomi buruk, dan kepada lingkungan sekitar kurang aware karena perokok pasif itu lebih rentan kena dampaknya. Yah pokoknya, ngga setuju yaudah. Jadi, terima kasih kalian yang sudah tidak merokok.

Oke balik ke cerita.
"Ini kebetulan apa gimana ya," ucap masnya lagi.

"Loh kenapa Mas?" bingung saya.

"Nama kita sama, Mbak,"

"Hah, gimana?" tanyaku heran. Yaps, kebiasaan bilang hah, gimana, apa bukan karena ngga denger, tapi karena ingin memastikan yang kudengar itu salah apa bener. Aku bukan heran mengapa nama kita sama, bukan heran mengapa kebetulan kita duduk bersebelahan, tapi lebih heran mengapa mas ini tau namaku coba?

"Jadi mana yang namanya Fajar," tanya bapak agen yang tumbenan mengecek penumpangnya ke dalam bus.

"Saya, Pak," balasku spontan dengan mengangkat tangan. Yaampun kelakuan.
Dilanjutkan dengan keisengan bapak agen yang tak menyangka kami duduk bersebelahan. Aku tak peduli.

"Tunggu, masnya tau dari mana namaku?" todongku langsung, merasa tak nyaman dengan guyonan ini.

"Ya kan tadi mbaknya dikerjain sama bapak itu, saya merhatiin aja ketawa-ketawa," jawabnya.

Heuuu. Aku ngga suka diperhatiin orang asing. Titik.

Masnya ini sepertinya sangat suka bercerita. Sepanjang jalan aku merasa kursi kami paling berisik karena nada bicara kami sama-sama tinggi. Terkadang aku merasa heran, mengapa ada orang yang dengan mudah menceritakan segala hal pada orang yang baru ia temui di tempat umum? Yaps, masnya ini menceritakan masa kuliahnya di Jogja, masa kerjanya di Medan, masa adaptasinya di Cianjur, pandangannya dalam agama, kecintaannya terhadap anak-anak bahkan mengenai keluarganya.


"Ya begitulah, Mas, jarang ada yang ngira saya orang Jawa,"

"Iya, mbak, saya aja juga kaget waktu mbaknya bilang asli Solo, soalnya pas dijailin bapaknya tadi bahasanya beda banget," deg. Aku heran lagi, ternyata masnya tak hanya mengamati lucunya aku dijailin bapak agen, tapi juga bahasaku. Yaampun, belum nyampe Bandung ini, jadi berasa lama sama masnya.

Terkadang kurasa mas ini begitu mendramatisir keadaan. Seperti saat kubilang aku dua bersaudara dan mencari tiket di hari Kamis, mas ini selalu merangkai kebetulan-kebetulan yang terjadi di antara kita dengan wajah yang berseri dan innoncent. Sudahlah mas, jangan kau hubungkan lagi kebetulan-kebetulan itu, itu tidak akan membuat kita terlihat seperti berjodoh. Mungkin ini terlalu pede, tapi sebenarnya saya risih, ehehe.

"Di umur segini, orang tua kalau anaknya rantau tuh udah minta dibawain oleh-oleh kalo pulang," ucap masnya tiba-tiba.

"Ya beliin aja atuh mas, emang masnya ngga bawa? Kan di Cianjur banyak oleh-oleh," jawabku.

"Bukan oleh-oleh itu, itu mah gampang, yang ini agak susah nyari oleh-olehnya," balas masnya.

"Hah? Gimana to? Ya namanya oleh-oleh koq ini itu, ngga jelas banget," bingung sama jalan pikiran masnya.

Ada jeda sejenak. "Kalo wanita udah nikah sama lelaki, kan dia bakal ngikut lelaki, nah nanti pas pulang dikenalin ke orang tua, itu oleh-oleh," jelasnya.

Hening lagi. Aku hanya bisa ber-oh ria dengan penjelasannya. Paling ngga suka kalo bawa masalah ginian sama orang asing aku tu.

"Yaudah, Mas, tinggal cari jodohnya aja, kan orang Sunda cantik-cantik," jawabku sensi. Teringat saat aku bertanya pada kawanku, "Apa yang kamu suka dari Sunda?" lalu mendapat jawaban, "orangnya ganteng-ganteng dan cantik-cantik," oke fix bhay saya tidak cantik sangat minder disandingkan dengan Anda yang kata orang kasep pisan tapi bagiku ngga kasep-kasep amat. Yah, baper.

"Ngga usah, orang Jawa juga banyak yang cantik," baiklah saya kicep. Melempar pandang ke tepian jalan karena masnya ini terlalu sering membangun image, menurut sisi pede saya.

"Nyambung banget ya kalo ngobrol sama seumuran gini," guyonnya.

"Hah? Monmaap mas saya lima tahun lebih muda dari mas, jangan samakan, bukan seumuran," sanggahku.

"Oh, lima tahun ya? Lumayan lah," balasnya. Hah? Lumayan apanya. Waspada nih lama-lama.

Oh ya, lama kelamaan masnya ini tidak menyebutku "mbak" lagi karena kenyataan mengatakan dia lima tahun lebih tua dariku. Yaps, bahkan aku seumuran dengan adiknya yang lebih sukses di Jakarta.

"Biasanya aku lebih suka diam aja sama orang lain kalo lagi perjalanan gini," ucapnya lagi.

"Lah dari tadi mas ngomong ngga berhenti," protesku.

"Hehe iya nih,"

"Emang kenapa gitu mas?" tanyaku.

"Ya itu dia, ngga tau saya," jawabnya terlihat kikuk. Aku? Masa bodo amat seh.

Aihh. Jika mas ini hanya berlaku aneh ke aku doang, i'm so sorry mas saya udah pernah digituin jadi ngga mempan.

"Ya, mungkin karena mas sering ngobrol ke guru-guru yang di sekolah tadi, tuntutan pekerjaan mas," balasku mencari jawaban yang logis.

Dalam sebuah perjalanan, aku lebih suka diam menikmati pemandangan di jalan dengan ditemani alunan musik. Atau jika menggunakan mode transportasi kereta, aku bisa sambil menuliskan sesuatu di laptop. Aku tak terlalu suka berbincang dengan orang asing. Millenial banget? Engga juga, memang aku orangnya tak terlalu suka membangun percakapan terhadap orang asing.

Dan masnya ini adalah orang ketiga yang mengajakku berbicara saat perjalanan pulang. Biasanya aku menyelipkan doa, "Ya Allah segera pertemukan aku dengan jodohku, biar kalo aku pulang pergi perjalanan ada yang nemenin dan ngejaga jadinya ngga krik krik banget sama orang lain," ehehe. Aamiin.
Apalagi diajak bercanda sama mas-mas jomblo kaya gini. Capek aku tu sebenernya, tapi kalo diem kan aku bukan oramg sombong wkwkwkw. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.