Apa Kabar, Kawan?

Bismillah ...

"Balik ke kamar dulu yak, mau nelfon orangtua," ucapku saat meninggalkan kamar teman sekosanku.

Tak lama kemudian ponselku berdering, dengan nada khas telepon melalui aplikasi Whatsapp ... alhamdulillah orang rumah mulai peka kalo aku pengen nelfon, pikirku.

Segera kuraih ponselku dan kubuka aplikasi hijau bergambar gagang telepon itu.
Loh kok foto profilnya beda? Pikirku sekian detik saat melihat gambar di layar. Bukan kontak ibuku, bukan juga adikku. Dan benar saja, satu nama yang membuatku terkejut ---- sebut saja Axel atau El.
Aku sempat berpikir sekian detik, ada apa dia menelefon tiba-tiba? Ya, sudah empat bulan lebih kita tak saling menyapa. Otakku segera memutar ingatan, terakhir yang aku lakukan 34 menit yang lalu adalah mengiriminya pesan, "kapan kamu pulang?"

Ohya kenalan dulu, aku Alfa, sebut saja Al. Aku dan El telah berteman sejak kami berseragam putih-biru hingga putih abu-abu. Setelah lulus SMA, kami berpisah, meninggalkan Kota Serabi menuju kampus masing-masing. Aku memilih ikatan dinas di Jakarta, sedangkan El memilih kampus swasta di Bandung. Meskipun begitu, kami tetap menjalin komunikasi dengan baik. Sesekali menelefon untuk menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing. Tak berselang lama, aku menyusulnya ke Bandung. Namun, kami belum pernah bertemu sekalipun, iya masih sibuk. Tapi, kami akan bertemu ketika kami pulang ke kampung halaman.


Kugeser tombol hijau dan disambut suara khasnya "Assalamu'alaikum,". Tanpa kusadari, senyumku mengembang, suaranya bisa menggambarkan bahwa dia dalam keadaan sangat baik-baik saja. Ya, terakhir kuingat dia nekat menghubungiku dengan suara parau setelah keluar dari rumah sakit.
"Wa'alaikumussalam, ada apa, El? Sepertinya aku tak mengatakan apapun, kenapa tiba-tiba menelepon?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Hanya ingin tau kabar, kita udah lama banget ngga ngobrol. Apa kabar? Gimana kerjaanmu?" lagi-lagi aku tersenyum.
"Alhamdulillah, yaa beginilah. Masih gini-gini aja, sedikit monoton, gimana kuliahmu? Sepertinya kamu banyak berubah dari terakhir kita bercakap. Kau tahu, suaramu terlihat sangat bersemangat. Mau berbagi cerita?" todongku tanpa ba-bi-bu.

Ya, El adalah seorang storyteller yang baik, dan aku adalah pendengarnya. Simbiosis mutualisme ini terjadi sejak enam tahun terakhir. Hmmm lama juga ternyata kita saling mengenal. El juga tak segan memintaku bercerita dan menuntaskan setiap ceritaku jika terpotong olehnya, emmm tapi aku lebih suka mendengar ceritanya saja daripada bercerita.

Kali ini dia menceritakan bagaimana proses dia berdamai dengan dirinya sendiri. Berhenti overthinking dan mulai menjadi produktif, menikmati hari demi hari di usianya yang ke-21 tahun. Dia pun memintaku untuk berhenti overthinking dan mulai melakukan hal kecil, misalnya berlari, hobi baru yang kini ia mulai tekuni. Aku tersenyum kecut, seakan dia sudah melangkah jauh di depanku sekarang, lalu menoleh ke belakang untuk mengajakku agar menyusulnya. Entah suntikan darimana, saat menelepon aku mendengar setiap ucapannya sembari merapikan kamar, hal yang lama ingin aku lakukan ehehehe....

"Eh aku lagi ikut lomba bikin game, prosesnya panjang, aku kirim link videonya ya nanti," ucapnya bersemangat. Nah kan, lagi-lagi dia melangkah lebih dahulu, sedangkan aku masih bertahan di sini dengan segudang keluhan.

Dan banyak hal lain yang ia ceritakan, terutama kisah asmaranya. Pfffttt aku hanya bisa berharap, jika suatu saat kami telah berkeluarga dengan pasangan masing-masing, hubungan kami tetap baik-baik saja.

"Jadi, minggu ini kamu gak mau pulang? Aku nyari temen buat nonton seminar di Solo," tanyaku, kembali pada tujuan awal aku menghubunginya.

"Sepertinya tidak," jawabnya mantap.

Dua hari setelah itu aku kembali menghubunginya, kali ini cukup via pesan saja.
"Aku tidak jadi pulang, berminat ngajak main?" tawarku basa-basi.
"Loh kenapa? Sepertinya ngga bisa, aku mendadak harus pulang besok," tulisnya. Deg. Betapa kesalnya aku, semesta belum mengijinkan kami bertemu. Ashh, cerita kami menjadi lucu.
"Btw aku lolos ke final," sambungnya lagi.
Aishhh ... MasyaAllah. Aku kesal sekaligus bangga di saat yang sama. Aku tersenyum, kamu masih saja menjadi leader seperti dulu.

Apapun kesibukanmu, sempatkan waktu untuk menanyakan kabar kawanmu. Kawan yang telah menemani masa sulitmu dan masa kamu berproses.
Hai, El! Terima kasih telah berteman denganku :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.