Sampai kapan?

Selamat ya, Al,” pesan itu bertubi-tubi masuk dalam Whatsapp grup kantor. Aku menepuk keningku. Bisa-bisanya ada orang yang bercandanya di grup besar. Sampai pada akhirnya tertulis, “ikut doakan aah barakallah, Alfa,”. LAMPU KUNING!! Seseorang yang kami hormati karena tuturnya pun menulis demikian. Jangan-jangan beliau termakan drama bapak-bapak iseng pula.

Akupun mengirimkan pesan ke seniorku yang memulai drama ini. “Mas, tanggung jawab, bapak itu sampai ikutan, dosa lho kalian,” kataku polos. “Lha yo kenapa? Bagus to malahan di doain Pak Haji,” kutepuk keningku untuk kedua kalinya. Dan saat aku bertemu orang-orang di kantor, betapa canggungnya aku ketika beberapa dari mereka hanya memanggilku dan memberi senyuman yang sulit kuartikan tanpa obrolan lain. WHAT? APA INI YAAMPUN. Jika memang candaan itu benar, masa iya sebuah lamaran disebarluaskan? Bukannya harus dirahasiakan?

Akhir pekan pagi itu, aku masih saja melakukan hal tak berfaedah sembari mengumpulkan nyawa, iya scrolling social media.

Sampai ada notifikasi yang sebenarnya enggan untuk aku buka.

Mbak, ada yang mau saya bicarakan, harusnya sih ketemu langsung, tapi mungkin gapapa lewat pesan ini,” tulisnya.

Ngga,” jawabku pendek. Entah kenapa aku bisa menebak jalan pembicaraan ini kemana.

Lalu ia tetap mengutarakan maksudnya … yang pada intinya ada seseorang yang ingin ia kenalkan padaku, jika aku berkenan. Meskipun aku bisa menebaknya, tapi sebenarnya ini tebakan yang tidak aku inginkan dan tidak sedetail itu. Pfffttt mengapa aku selalu merasa takut.

Aku mencoba memberinya pengertian untuk memikirkan tawaran itu terlebih dahulu.

Istikharah dulu aja mbak, tanya orang tua juga,” ia mengiyakan.

Jujur, dia adalah orang yang tidak dekat denganku, mungkin bisa disebut di luar lingkaran pertemananku. “Kamu tu ngga kenal aku, kamu tu terlalu memandang aku baik,” kilahku.

Tapi tetap saja, dia masih ingin menunggu jawaban.

Aku termenung. Cukup lama.

Segera aku hubungi kawanku. Dan jawabnya sama. Tapi, memang benar. Mungkin, sudah saatnya aku bertanya pada orang tua, meskipun lidahku kelu.

Doa mana yang aku panjatkan sehingga Allah kirimkan orang berbeda hingga tiga kali. Aku mulai menelisik. “Sepertinya aku lebih sering berdoa jika dia bukan jodohku, mudahkanlah hatiku untuk mengikhlaskan. Tapi, kenapa belum bisa melepaskan malah ditunjukin orang lain, kan aku ngga pengen sakiti orang lain juga,” gerutuku dalam hati dan kusampaikan pada sahabatku.

Yaampun kamu itu masih aja dia, hmm aku tau rasanya, dalem ya kamu,” jawabnya. Aku tak mampu mengelak, pun tak ingin mengiyakan.

Apa aku coba tanya ke dia ya? Aku harus gimana?” tawarku pada sahabatku lagi

Yaampun kenapa harus nanya? Ntar malah dikira aneh-aneh. Lagian kamu mau nanya apa?” cegahnya.

“Iya ya. Hmmm kok aku begini sih,” jawabku lesu.

Aku mencoba menelepon kontak keluargaku. Tapi nihil. Dua hari aku hubungi belum tersambung. Yaampun gini amat. Ehehehe

Sisi lain diriku seperti berkata, “yaelah baru kenalan juga, masih jauh, kaya yang mau diajak langsung serius aja, ngga cocok bisa berteman juga, masa iya menolak orang baik terus, mau sampai kapan?”

Bukan. Bukan itu. Aku punya pandangan, “jangan mencintai seseorang yang masih ada orang lain di hatinya” maka dari itu aku tak ingin membuka diri untuk orang lain jika di hatiku belum sepenuhnya melepaskan sebuah nama.

Ah berlebihan, tapi kamu malah menolak kebaikan. Lagian apa yang kamu harapkan, dia udah lama memutuskan pergi, lantas mengapa kamu masih tetap tinggal?” lagi, diriku mencoba meyakinkan.

“Tapi, tapi saya takut. Saya takut orang baru itu akan kecewa,”.

Ya, masalah utamanya adalah sampai kapan aku menolak kebaikan, sampai orang ke berapa aku akan bisa mengiyakan. Antara logika dan hati yang tak sejalan.

Lagi, aku tertunduk lesu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.