Hidup Itu Saling Melengkapi

Assalamu'alaikum kawan.

Ini adalah tulisan pertamaku di kamar kost yang baru. Iya, ini adalah kost ketiga yang aku tempati selama belum ada satu tahun penempatan. Mantaps.
Ohya, selain pindah kost, aku juga pindah kantor. Eits, bukan mutasi, hanya saja kantor tempatku bekerja yg sekarang pindah gedung ke alamat yang baru.
Siang tadi, aku sibuk merapikan berkas pribadiku di ruangan, lanjut saat pulang aku pun langsung bergegas merapikan pakaian dan barang-barangku untuk segera diangkut menuju kost yang baru. Setelah memastikan semuanya telah masuk ke kamarku yang baru, aku merebahkan tubuhku di kasur dan mengecek gawaiku. Ya, aku lebih memilih beristirahat dan enggan menata barangku karena sudah cukup lelah malam ini bolak balik naik turun tangga berkali-kali.
Kubuka ponselku yang tak biasanya penuh dengan notifikasi. Iya, ponselku sering sepi karena ketika jumat malam biasanya orang-orang dalam perjalanan menemui keluarganya.

KEP Mutasi Internal.
Deg. Waktu terasa berhenti. Aku bisa merasakan angin yang tadinya membuatku sejuk karena keringat lelahku kini berubah menjadi angin yang membuat beku.
Namaku ada di antara beberapa nama Pelaksana itu untuk menempati seksi yang baru. Ah, tak kusangka aktivitas merapikan berkas di ruanganku tadi juga membuatku harus memindahkannya ke seksi lain.
Detik itu juga aku mencoba menghubungi dia. Dia yang lama tak kudengar kabarnya. Semua begitu saja terjadi, aku tak peduli jika akhirnya dia akan menutup sepihak panggilanku kali ini. Dan, gagal. Entah kenapa aku mencoba menghubunginya kembali. Ahh aku menyerah. Biarkan ia menghabiskan waktu bersama keluarganya, egoku terlalu tinggi, aku ini siapa? Diakui teman saja kalau beruntung.

Akupun menghubungi keluargaku. Kutelfon ibu, tidak diangkat.
Kutelfon adik, tidak diangkat.
Hah. Aku sendiri.
Lalu, aku mencoba menghubungi kawanku saat SMA, dia belum pernah menolak panggilanku, dan malam tadi jadi yang pertama.
Lalu kuhubungi rekan mayaku sejak SMP, gagal pula.
Pfffttt. Aku merasa benar-benar sendiri sekarang.
Terduduk lemas di depan pintu bersama semilir angin malam, aku hanya bisa menatap langit yang tak berbintang.

Hmm aku jadi ingat jasa kekasih kawanku. Iya, aku memang kurang menyukai orang yang memiliki hubungan khusus, tapi aku bisa apa? Tak mungkin juga melarang semua orang karena sejak kecil pun aku hidup di lingkaran orang-orang yang memiliki kekasih.

Sebut saja namanya Mas Gani.
Aku mengenalnya sebagai kekasih Mbak Melati, rekan kerjaku.
First impressionku padanya tak terlalu bagus, dia mengejekku padahal belum mengenalku saat itu, dan aku tak suka.
Sialnya lagi, terkadang melihat Mas Gani ini seperti melihat orang yang seharusnya kulupakan, bedanya Mas Gani ini lebih mengerti cara menghargai dan peduli pada orang lain. Mas Gani juga penyabar banget, sedangkan ia selalu meyudutkanku.

Aku belum pernah berani melihat Mas Gani semenit saja. Akan selalu hadir bayangan sosok itu dan aku tak mau, tak mau jatuh hati lagi pada sosok itu :(. Gagal move on banget mbak? 

Mas Gani sibuk menurunkan barang-barang Mbak Melati, sedangkan aku menurunkan barangku sendiri. Iya, Mas Gani datang dari kota sebelah hanya untuk membantu Mbak Melati dan dia senang dengan itu. Duh ngga boleh iri sama sesuatu yang dilarang Allah, Jar.

"Bisa ngga, Jar?" tanya Mas Gani yang melihatku menarik koper terbesarku. Jujur, paati aku ngga kuat, berat banget itu.

"Tak coba aja, Mas, pelan-pelan," jawabku merasa tidak enak jika Mas Gani membantuku, biarlah Mas Gani membantu Mbak Melati saja.

"Stop stop, Jar, sini aku aja, nanti kamu jatuh karena ketarik, koper ini jauh lebih berat daripada kamu," Mas Gani berhasil mengambil alih koperku. Tak lama kemudian keluar Mbak Melati yang mendengar keributan kami. Duh, jadi ngga enak. Mbak Melati memang terlihat kurang dewasa jika bersama Mas Gani, menurutku.

Setelah sampai di alamat kost baru, Mas Gani yang tadi kutinggal naik motor duluan pun tak kunjung datang. Mbak Melati pun kulihat sedang dalam mood yang kurang bagus. Lagi, aku mengalah dengan mencoba merapikan barangku sendiri dan membantu merapikan barangnya agar tak cemberut melulu.

Saat ku kembali ke depan garasi, keduanya sudah berdiri mematung. Mas Gani yang kebetulan berdiri menghadapku mencoba mencairkan suasana di antara keduanya.

"Udahlah, ini masih diperbaiki, ngga parah koq, ya ngga, Jar?" aelah Mas Gani. Ya, Mbak Melati cemberut karena salah satu barangnya terjatuh dan rusak saat pindahan tadi.

Pernah pula saat kebetulan kami pergi meninggalkan Stasiun Bogor, Mas Gani yang kukira cuek ini justru begitu peduli. "Jalannya jangan cepet-cepet, kasian Fajar," 
"Fajar bisa lompatin portal itu ngga kalo pake rok?"
"Fajar yakin ngga makan?"
Duh. Berasa anak kecil sangat.

Hmmm jika Mbak Melati memang berjodoh dengan Mas Gani, betapa beruntungnya ia mendapat pasangan yang sekufu. Meskipun mereka sama-sama aneh dan ngga jelas, tapi Mas Gani cukup melengkapi kekurangan Mbak Melati. Dan itulah cinta.

Dan sosok Mas Gani itu cukup melemahkan, jadi ada baiknya orang sepertiku melempar pandang ke arah lain jika bertemu dengannya. Pembawaannya yang tenang dan dewasa cukup meneduhkan.

Sudah dulu ya. Doakan saya betah di kost yang baru selama setahun ke depan. Aamiin.

Wassalamu'alaikum. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.