Terima Kasih Telah Tersenyum, Februari.

"Udah kenalan belum sama dia?" sapa seniorku ketika kami berada dalam antrean makan siang. Sekilas aku menoleh ke arah 'dia' dalam obrolan kami, siapa yak? Kok baru liat. Aku tak terlalu mengindahkan pertanyaan itu karena secara singkat kesan pertamaku ke orang baru ini terlalu pasif, tapi murah senyum. Merasa tak didengar seniorku pun meminta kami berkenalan lagi, meskipun pada dasarnya aku sudah mendengar namanya dari obrolan mereka sebelum aku bergabung, pun aku bisa melihat namanya lain waktu di daftar pegawai, yaampun ansos sekali.


"Halo, Mas. Saya Alfa," perkenalan macam apa ini. Sepertinya ini pertama kali aku berkenalan secara canggung. Kan apa kubilang, masnya cuma senyum. Obrolan kami bertiga pun berlangsung canggung dengan masnya yang selalu tersenyum --- berbanding terbalik dengan adikku Ajun, yang susah senyum. Ohya sebut saja namanya Mas Feb.

Waktu kulalui bersama pekerjaan yang membuatku memutar otak dan menguras emosi? Berlebihan ya? Iya, memang. Tak mudah bagiku beradaptasi dengan semua ini mengingat 20tahun waktu kujalani dengan lumayan flat wkwkw. Hidup memang kaya roller coaster banget. 




Aku tak mengerti mengapa orang di sekitarku gemar sekali menjodohkanku dengan orang baru. Maksudku, ada banyak orang yang bisa dijodoh-jodohkan selain aku. Come on, jomblo-jomblo di kantor tak hanya satu. Setelah Ajun berganti rutinitas, dia pun jarang menemui teman-temannya, termasuk aku. Isu hubungan antara aku dan Ajun pun perlahan bisa teredam. Aku pun bisa bernafas lega.

Tapi, tak berlangsung lama. Senior-senior satu ruangan Mas Feb sepertinya gatal ingin menjodohkanku dengan dia, yaampun apa lagi ini. Bukankah lucu jika kamu dijodohkan dengan orang yang berinteraksi denganmu saja tidak pernah, hadeeehh. Hal itu membuatku memutar memori di kepalaku sejauh beberapa bulan ke belakang, saat pengumuman itu datang. Sesuatu yang biasanya muncul di Jumat Keramat tapi saat itu tak muncul di hari Jumat, SK mutasi. Singkatnya, Mas Feb bergabung dengan kami sejak SK itu turun. Bukan hal yang keterlaluan jika aku terlambat mengenalnya karena aku skip acara sesi perkenalan --- atau memang masnya tidak datang? Paling orang yang ngga jauh dari homebase dan sudah berkeluarga, pikirku saat itu --- karena biasanya alurnya begitu.

Di luar dugaan ternyata mas ini satu daerah denganku dan belum menikah --- berkebalikan dengan dugaanku terhadap Mas Farhan, seniorku yang belum lama pindah ke tempat ini juga.
"Hmm pantesan sering main kesini,"
"Feb, dicari Al tuh
,"
Rangkaian sapaan tak berdasar selalu disampaikan kepada Mas Feb. Aku lebih memilih memberi pembelaan jika sedang berdebat dalam posisi memang ada Mas Feb atau tiba-tiba kabur saat Mas Feb datang ke ruangannya. Semakin hari, orang-orang semakin menjadi-jadi. Yang menjodohkan kami tak hanya teman-teman Mas Feb dan cara pendekatannya pun tak tanggung-tanggung, iya, membawa Mas Feb ke hadapanku. Aduuuhh orang-orang ini. Aku semakin tak enak hati dengan Mas Feb yang sangat pendiam.

Aku merasa ditarik ke waktu dimana aku duduk di bangku Sekolah Dasar, dijodohkan dengan teman yang dipandang pendiam dan pintar lalu berujung tidak berkomunikasi meskipun kami selalu satu sekolah dari putih merah sampai putih abu-abu.

Pernah suatu waktu aku sedang berbincang bersama temanku lalu Mas Feb pulang bersama temannya. Mereka lalu singgah di lingkaran kami dan menyapa "Al, kasian Mas Feb pulang sendirian, kehujanan pula, anterin atuh," aku terhenyak, obrolan kawanku pun tak berlanjut, justru menjadikanku sebagai bulan-bulanan mereka. Saat itu aku sangat malu dan sungkan kepada Mas Feb, reaksi Mas Feb? Aku kira hanya tersenyum formalitas seperti biasa, ternyata dia tertawa dengan tulus, aduhh terbuat dari apa hati mas ini.
"Udah, Pak, jangan gitu, kasihan Mas Feb," ucapku tak kuat lagi. Demi apa aku sangat tidak enak hati :((
"Loh kenapa? Saya kan cuma membantu," lagi-lagi mereka tertawa tak terkecuali Mas Feb.

Bukan aku menolak kehadiran Mas Feb, bukan. Tapi setidaknya biarkanlah aku berdamai dengan diriku dan kisahku di tahun lalu. Pun begitu dengan beliau. Barangkali sudah ada hati yang sedang ia jaga. Barangkali sudah ada sosok yang ia perjuangkan. Barangkali sudah ada hal lain yang ia prioritaskan.

"Yaudah sih gausah baper kan cuma bercanda," bercandanya bahaya euy, bukan level saya wkwkw.

Mengapa bukan levelku?
Ya, aku rasa sudah berlebihan.
Pernah suatu waktu kami berdua dijadwalkan bertugas di lokasi yang sama, ya hanya berdua. Syukurnya, rencana itu hanyalah wacana.
Tidak berhenti sampai di situ.
Pernah juga kami diminta ke luar kota berdua untuk mengunjungi salah satu pegawai yang berduka. Dan aku menolaknya.
Itu hanya dua dari puluhan usaha rekan kerja kami yang tentu saja aku elak terus menerus.

Dan untuk Mas Feb.
Terima kasih telah tersenyum meskipun dirimu mungkin terganggu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.