Obrolan Setengah Serius

Assalamu'alaikum.

Ini mungkin akan menjadi tulisan penutup di tahun 2020.

Malam sebelum malam tahun baru, aku bertemu Axel dan tiga teman kami lainnya. Oh ya, fyi, aku sedang berada di Solo sehingga bisa bertemu dengan teman masa sekolahku. Axel menyambut kedatangan aku dan teman perempuanku dengan senyumnya. Tanpa basa basi aku menyodorkan buku cover ungu, polos, tanpa bungkus apalagi kartu ucapan, "nih, El,".
"Wahh, makasih lho, Al," ucapnya semangat lalu membuka segel plastik buku itu. Rich Dad's The Business School memang sengaja aku beli sebagai hadiah atas ulang tahunnya bulan depan gelar Sarjana Terapan yang baru disandang El sebulan lalu, sesuai permintaannya.

Kami duduk melingkar di sofa cafe sederhana milik teman kami, Rimbawan Coffee.
"Ayo ih, Bay, ajak ngobrol lah, liat nih pada sibuk sama ponsel masing-masing," protes kawanku pada Bayu, barista pemula di cafe ini.
"Bentar ya, lagi ada yang mau difokusin," aku izin sejenak, fokus pada obrolan di grup kantor mengenai pengumuman promosi. Selesai menyimak, aku meletakkan ponselku di meja, diikuti Axel.

"Menurut kalian, masih perlu nggak sih bikin resolusi?" Aku menolah ke sumber suara, siapa lagi kalau bukan Axel, membuka obrolan kami. Sekian detik belum ada yang merespon, Axel menatap kami bergantian dengan tersenyum.
"Ngga, biar ngalir aja," kataku singkat, yang lain mengiyakan.
Begitu seterusnya, obrolan kami berlangsung canggung. Rafi memecah suasana dengan menceritakan pengalaman KKN tahun lalu di (Desa Penari) Tanah Toraja. Kawanku Icha pun mencoba bercerita dengan semangat dan kami memperhatikannya dengan antusias.

"Udah ih, aku kan udah cerita panjang, sekarang giliran kalian, aku kan pengen denger cerita kalian juga," protesnya karena bosan.
Aku menatap orang yang duduk lurus di depanku, "kamu lah, Al, yang cerita, kamu kan merantau dari lama," ucapan El membuatku membulatkan mata.
"Ngga, lah, kamu aja, kan kamu merantau juga. Kita sama kali, El. Lagian aku kan pendengar di sini," kilahku.
"Ya gimana perasaan kamu aja, kamu merantau jauh, ngga ada temen yang dikenal, cewek pula, kan keren," kekeuh El, dan aku tetap menolak.
"Yaudah gini aja, sekarang giliran kalian nyeritain, ada nggak sih pengalaman atau momen di mana kalian merasa terpuruk atau down gitu tapi karena saat itulah bisa ngebentuk kalian yang sekarang ini, kaya yang aku ceritain tadi, emm paham ngga?"
Kami hanya mengangguk.
"Yaudah, ayo," tegas Icha.
"Al," lagi-lagi Axel memintaku duluan.
"Ishhh hmmm, yaudah, bentar," aku berpikir sejenak karena bukan pengingat yang baik.
"Emmm keknya waktu kuliah deh, ketebak banget kan? Soalnya ya itu tadi, aku yang kalian tahu dari jaman sekolah anak rumahan banget, sekolah pulang doang, tiba-tiba merantau dan sendirian pula. Bener-bener ngga ada yang aku kenal. Terus di sana aku ketemu banyak orang dengan latar belakang dan kepribadian yang beda-beda," aku mencoba bercerita tapi sepertinya mereka tak tertarik wkwkw.
"Oh ya, dari segi persaingan juga, waktu aku sekolah aku kaya ngalir aja gitu tapi hasilnya bisa aman. Eh waktu kuliah, aku berada di titik sebaliknya, udah belajar bener-bener tapi posisiku menengah ke bawah, ya kaya sekelas pinter semua gitu," tambahku, hanya berniat untuk sharing.
"Ah iya, aku juga ngrasain itu," sambung Axel. Baguslah ada yang tertarik dikit.
"Udah selesai, giliran kamu, El," tutupku.
"Hmmm aku apa ya. Oh ini, pas jadi asisten laboratorium," jawabnya.
"Ah sudah kuduga," ucapku keceplosan. Ya, karena di saat itulah dia bisa menelepon dengan durasi 2-4jam.

Hari semakin gelap, hidangan kami juga hampir habis. Aku bersiap pamit namun lagi-lagi disela oleh Axel.
"Aku mau nanya ke kamu, Al. Gimana pendapatmu tentang Yes Man, pernah ada pengalaman atau engga, dan gimana kamu menyikapi hal itu," aku meletakkan ponselku karena merasa namaku disebut.
"Itu pertanyaan buat aku, El?"
"Iya," jawab Axel.
"Harus aku jawab sekarang?" aku meragu karena pembahasannya membuatku terpancing.
"Iya," jawabnya lagi.
"Di sini?" lagi-lagi aku meragu. Barangkali bisa dijadikan PR.
"Iya," ucapnya meyakinkan. Aku melihat kawanku yang lain, mengapa kita malah seperti berseteru?

"Aku ngga bisa jawab, El. Itu terlalu pribadi sepertinya karena menyangkut pekerjaan. Dan aku ... merasa di titik itu," jawabku singkat. Aku memang tidak biasa bercerita secara terbuka untuk hal tertentu.

Bukan Axel namanya jika tidak bercerita secara sistematis. Dia kemudian memberi sedikit impression tentang Yes Man. Pertanyaan yang ia jawab sendiri untuk mengikis atmosfer canggung yang lagi-lagi muncul. Tak lama kemudian, kami membubarkan diri karena sudah larut malam.

"Al, sekali lagi, makasih ya bukunya," tutup Axel sebelum kami berpisah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.