Bagaimana Jika, Tak Lagi Sama

Siang itu, aku tertegun, teringat akan tulisan yang tak sengaja aku baca dari orang yang mungkin tak kalian kira.  Tulisan sederhana yang tertimbun di antara sampah-sampah media. Kesederhanaannya mampu membuatku ditarik oleh waktu cukup jauh ke belakang. Teringat sosok yang saat ini masih memenangkan hati, meskipun telah lama undur diri.

Prasangka muncul bersamaan dengan penilaianku terhadap tulisan itu. Tulisan berisi pengalaman nyata banyak orang di luar sana, yang mengarungi rumah tangga bersama seorang yang dianggap baik agamanya namun tidak diiringi dengan baik pula budi pekertinya, utamanya hubungan dengan sesama manusia. Sederhananya, mereka ahli ibadah, namun tak pandai mengatur mulut dan tangannya sehingga sering menyakiti orang yang ia cintai. Teringat kisah seorang teman yang baru pertama kali jatuh cinta pada seseorang yang ia rasa bersama sosok itu surga terasa lebih dekat, namun berujung penolakan yang tak dapat dijelaskan. Prasangka apakah sosok itu bermasalah dengan kepribadiannya sendiri hingga mengurungkan niat untuk membersamai, atau mungkin, tidak benar-benar mencintai??

Ahh... Membaca, mendengar, dan mengamati kisah seseorang yang telah menjalani hubungan dengan lawan jenis malah semakin membuatku ragu akan adanya sosok yang sabar dan setia pada satu pilihan. Namun, begitulah kenyataannya, rumah tangga memang tak selalu bercerita yang manis-manis.

----------------------------------------------

Duhai Yang Maha Membolak-balikkan Hati, apakah Engkau sedang menguji rasaku kembali?
Kau hadirkan makhluk asing di dekatku yang bersifat serupa tapi tak sama?
Apakah ini salah satu dari jawaban atas doaku terhadapnya?
... dan jika dia bukan jodohku, maka permudahkanlah aku untuk mengikhlaskannya...



Tentang tawa yang pernah tercipta.
"aku suka mendengar tawamu,"
Bagaimana jika, bukan lagi kamu yang menjadi alasanku untuk tetap tertawa?
Bagaimana jika, tak hanya kamu yang menjadikanku alasan dirinya untuk tertawa?
Sederhananya, bagaimana jika tawa ini tak lagi untukmu?

Tentang kesal yang selalu kau lukiskan
"seneng aja liat kamu kesel,"
Bagaimana jika, ada sosok lain yang lebih sering membuatku kesal karena candaan?
Bagaimana jika, kekesalanku padamu bukanlah sebuah candaan lagi?

Tentang tangis yang membuatmu teriris
"jangan sedih dong,"
Bagaimana jika, tangis ini selalu disebabkan rasa sakit yang timbul oleh ulahmu?
Bagaimana jika, bukan lagi kamu yang meredam tangis ini?

Tentang rasa sabar yang selalu diuji
"sabar ya, jalani aja,"
Bagaimana jika, rasa sabar ini sudah mencapai batasnya namun tak kunjung bertemu jawaban?
Bagaimana jika, ada sosok lain yang bersedia menemani melebihi dari sekedar berucap sabar?

Tentang sebuah atensi yang tak lagi menemani
"gimana kabarnya?"
Bagaimana jika, ada jiwa lain yang bersedia menjadi pengganti?
Bagaimana jika, ada raga lain yang setia mendampingi?

Bagaimana jika, kamu yang dulu sedekat nadi, kini telah sejauh matahari?
Yaps orang yang pernah kamu anggap paling peduli dalam suka dan duka, setia mendengarkan semua cerita, pada akhirnya jika boleh kutuliskan dalam bahasa kasar, ia tak akan peduli meskipun nasibmu bagai telur di ujung tanduk.
Berawal dari asing, dan kembali menjadi asing.


Maka ketika lisanmu telah lama berucap untuk memintaku pergi dan hatimu telah berpaling, tak ada lagi alasan untukku tetap bertahan.
Jika perhatianmu tak lagi ada untukku, maka untuk apa aku masih menganggapmu yang nomor satu?

Meski hati kecil masih menyala redup. Ingin berlari kedalam pelukan lalu memukulmu pelan. Atas semua perbuatan yang tega kau lakukan.
Lalu kau hanya berkata semua salahku, karena aku perempuan.

Jika engkau singgah di tulisan ini, katakan padaku secara jujur, masih adakah namaku dalam hatimu? Atau yang sederhana, mungkin singgah dalam benakmu?
Jika tidak, tak usah repot-repot untuk sekedar berusaha mengingatku.
Dan karenamu, aku tak berani membuka hati untuk jatuh cinta lagi.

Pada akhirnya. Bagaimana jika, tak lagi sama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.