Road to DJP : Definitif, Jadi Orang Sunda

Assalamu'alaikum
Tulisanku kali ini akan membawaku memutar memori bagaimana aku bisa jatuh dan beradaptasi di Tanah Pasundan. Lalu, jatuh cinta dengan Kota Kembang, seperti orang lain jatuh cinta dengan Kota Pelajar.

Ya, semua memang berawal dari ketidaksengajaan dan ide isengku yang berlalu begitu saja.
Aku pertama kali menginjakkan kaki di provinsi Jawa Barat saat kelas 2 SMP. Saat itu aku mengikuti study tour. SMP tempatku menimba ilmu biasanya pergi ke Bali, tapi saat angkatanku diubah ke Bandung, anehnya angkatan setelahku kembali lagi ke Bali. 
Meskipun begitu, aku senang, karena lokasi yang kami kunjungi cukup edukatif dan Bandung menyuguhkan pemandangan kota yang menarik. Yang aku ingat kami mengunjungi Museum Geologi dan Sabuga ITB. Aku juga jatuh cinta dengan seniman jalanannya. Waktu itu ada musisi jalanan yang masuk ke dalam bus, tapi kami tak terganggu, bahkan sangat mengapresiasi musik yang dibawakannya. Terdengar berkelas saat itu.

Sejak saat itu, aku berkeinginan untuk kembali lagi ke Bandung, entah kapan, dan dalam rangka apa. Sesederhana itu keinginan masa remajaku. Tentu saja itu hanya keinginan iseng, bukan keinginan kuat yang kukejar dan harus kuraih.

Hingga akhirnya aku harus menimba ilmu untuk kuliah ke pinggiran Jakarta. Ah sejujurnya Bintaro masih masuk Jawa Barat juga, tapi budaya di sana lebih kental Jawa dan Betawi. 
Aku nyaris berkuliah di Jawa Barat selama tiga tahun, di Kota yang aku inginkan pula, Bogor.
Masih teringat bagaimana sulitnya aku membedakan julukan Kota Kembang dan Kota Hujan saat aku masih kecil, karena Bandung dan Bogor sama-sama diawali huruf B. Nggak penting memang.

Oh ya, saat itu aku sedang menyiapkan berkas daftar ulang ke IPB, lalu datang bibiku dan iseng menggodaku, "wah nanti ifah pulang-pulang bawa calon orang sana (re: Sunda) kan kuliahnya di sana," aku hanya tersenyum kikuk. Ya, waktu itu memang aku belum memikirkan tentang berkeluarga di Sunda, masih kecil. Toh aku tau, merasa jauh kali kalo aku bersanding dengan orang sunda yang tak diragukan visualnya, langit bumi bagiku. Tentu itu hanya gurauan bibiku saja karena di lingkunganku jarang sekali perempuan merantau sendirian dan cukup jauh. Cucu-cucu simbah pun hanya aku yang berada di luar kota. Maka dari itu, aku sempat menjadi sorotan di kalangan keluargaku.


Menjadi salah satu mahasiswi sekolah ikatan dinas membuatku selalu terngiang dengan perjanjian "bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia". Tak buruk, aku bisa menjelajah kota-kota di Indonesia, pikirku. Tapi tetap saja, jiwa ini masih dihantui rasa khawatir akan jauhnya jarak dengan orang tua. Sesekali ada orang yang bertanya, "mau penempatan di mana? homebase ya pasti,"
Entah angin dari mana, terbesit di benakku bahwa aku belum ingin penempatan di homebase, ataupun Jawa Tengah. Alasannya? Yaa aku memang masih ingin belajar mandiri dengan cara jauh dari orang tua, mengingat sejak kecil, peredaranku selalu di bawah pengawasan orang tua. Alasan lain, tentunya faktor kemampuan diri, sadar dirilah aku ini, dapat pulau yang sama saja sudah sangat bersyukur.
Jadilah aku menjadi satu di antara mahasiswa yang mengangkat tangan ketika dosen menanyakan "siapa yang tak ingin penempatan homebase"
Teman pun sempat bertanya, "memang mau dimana?".
Bismillah... Tanah Sunda, provinsi Jawa Barat, menjadi satu pilihanku.
Hal yang sama pun pernah diharapkan oleh simbah, "semoga kamu kerjanya jangan jauh-jauh ya nduk (re: deket rumah)" aku pun menjawab dengan pelan "dimanapun itu harus diterima mbah, tapi ifah lagi pengen ke Jawa Barat,".

Tentu mengundang tanya, ada apa dengan Jawa Barat? Kenapa memilih Jawa Barat? Ada saudarakah?
Jujur saat itu aku tidak memiliki gambaran khusus tentang Jawa Barat.                  
Ya namanya juga Fajar, pemikirannya terkadang lahir begitu saja tanpa alasan khusus. Tapi satu yang kuyakini, Allah mentakdirkan sesuatu pasti dengan alasan yang jelas. 

Lagi, 
Allah Swt Mengabulkan Semuanya

Awalnya aku sempat pede akan ditempatkan di ibukota, karena aku berasal dari Kampus Jakarta dan kebetulan magang di Jakarta pula. Tapi ketika pengumuman tiba, subhanallah, lemas rasanya. Cianjur itu di mana?
Aku yang malam itu berencana tidur lebih awal, malah berakhir tak bisa tidur semalaman. Terlalu cepat untuk memutuskan. Terlalu pahit jika ini kenyataan. Dari sembilan nama, tak ada satupun yang sudah kukenal. Lalu, aku membuka obrolan grup dengan canggung, tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Sialnya lagi, enam dari sembilan orang sedang menempuh diklat di Cimahi. Dan aku, berangkat dari Jakarta seorang diri.

Hari pertama di kantor magang pasca pengumuman definitif berlangsung suram. Orang-orang banyak yang peduli padaku dengan memberiku ucapan selamat dan dukungan. Tapi bagiku hampa, pada akhirnya aku harus berpisah dengan mereka semua, lebih cepat dari yang aku duga. Iya, entah berapa kali aku harus berlinang air mata. Kujalani hariku dengan setengah hati, aku harus berpisah dengan orang yang sudah kuanggap saudaraku sendiri. Mirisnya lagi, bahkan aku belum bertemu dengan teman sekamarku saat awal magang, ia sedang menempuh diklat pula. Aku sempat mengobrol dengan atasanku saat itu. Beliau dan beberapa pegawai di dekatku menanyakan bagaimana perasaanku mendapat penempatan di Cianjur. Ada sedikit canda di sana. Ah, sedih rasanya jika mengingat setahun yang lalu.

Ayah lebih khawatir aku di Jawa Barat daripada di Jakarta, karena banyak saudara Ayah yang merantau ke ibukota dan jalinan pertemananku lebih luas di sana. Di Jawa Barat, aku benar-benar memulai segalanya seorang diri. Awalnya teramat sangat asing. Kota kecil ini terasa dingin nan sepi. Aku ingat waktu itu ojek online hanya beroperasi di siang hari, itupun hanya dalam bentuk sepeda motor dan belum sebanyak sekarang ini. Ohya, Cianjur seperti lembah di antara dua bukit. Kedua bukit itu adalah Bogor dan Bandung. Maka tak heran, jika aku ingin keluar mencari peradaban, aku harus melewati jalan yang berliku tajam, ah melelahkan.

Hingga pada akhirnya, aku teringat ada satu rekan magangku yang asli Sunda dan kebetulan satu kanwil denganku. Aku banyak belajar darinya, meskipun terkadang ia memaksaku jadi orang Sunda ketika jiwaku sedang Jawa-Jawanya. Jika boleh jujur, aku sempat iri padanya, kantornya di situ-situ saja, dekat dengan domisilinya. Astaghfirullah, Allah ngga akan ketuker ngasih rejeki buat hamba-Nya. Dia pulalah yang menemani hari-hari beratku di tahun pertama aku menetap di Tanah Sunda. Yaps, ketika akhir pekan tiba, seolah dunia tak berpihak padaku. Semua orang berkumpul kembali dengan keluarganya, kecuali aku. Namun, segera kutepis pemikiran buruk itu, banyak kawanku di luar sana yang kurang beruntung daripada aku.

"Kamu harus bersyukur punya temen kaya dia," pesan Ayah setiap aku memberi kabar. Iya, Ayah jadi lebih sering menelepon karena aku sempat jatuh sakit di awal kepindahanku. Dan ayah jadi kepikiran ketika beliau tahu bahwa banyak rekanku yang pulang ke rumah ketika akhir pekan, mengkhawatirkan aku yang sendirian. Akupun menjelaskan bahwa Ayah tak perlu khawatir karena ada satu rekanku yang dengan sabar menemani akhir pekanku secara virtual. Iya, kami tak pernah bertemu, dekat tapi terasa jauh. Terkadang Ayah berceloteh, "kenapa kamu ngga main aja ke rumahnya?" aduh Ayah ngga semudah itu -___-.

Jika diingat, seharusnya Jawa Tengah ke Jawa Barat aku tak perlu banyak beradaptasi karena masih sama-sama Pulau Jawa, tapi kenyataannya tak semudah itu. Perbedaan selera makan, perbedaan bahasa, perbedaan kebiasaan, dan beberapa perbedaan lain membuatku harus belajar sedikit demi sedikit.
Lagi, pegawai di kantor pun didominasi orang Sunda, maka akupun harus menyesuaikannya.
Ohya, sepertinya panjang, gimana kalau dilanjut di part dua?

Okeyyy, selamat menunaikan ibadah puasa.

Wassalamu'alaikum.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.