Mengajakmu Ta'aruf

"Sepertinya kita butuh bertemu," tulisku polos begitu saja pada satu-satunya kawan yang bisa kuandalkan.
Kawan yang hadir dalam hidupku  sejak delapan tahun silam dan menjadi teman-bertukar-pikiran selama hampir enam tahun. Statusnya sebagai salah satu mahasiswa kampus swasta ternama di Kota Bandung membuat pertemuan kami hanya sebatas wacana. 

"Aku mau bertanya, ingin mengetahui jawaban dari sudut pandang wanita," ucapnya to the point saat mengawali perbincangan via telepon. Bisa kutebak, pasti masalah hati.

"Kamu pasti dulu pernah menaruh rasa atau sebut saja 'naksir' dengan seseorang di masa remajamu karena kelebihan yang dimiliki seseorang itu, jika sekarang saat kalian bertemu lagi dan ternyata dia tak sesuai ekspektasimu dengan dia yang di masa lalu, kamu memilih pergi atau tetap tinggal? Ohya, ku sebut remaja bukan berarti menganggapmu sangat tua, tapi untuk sekarang sepertinya kita telah dewasa sehingga ketertarikan dengan seseorang bukan sebuah mainan, tapi hal serius dengan dilandasi niat menjalin komitmen," pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Mencoba menempatkan diri dengan 'aku' di masa lalu. 

"Aku tak tahu apakah kau akan menerima jawabanku, tapi aku sulit menjawabnya karena mungkin aku belum pernah ada di posisi itu. Aku akan mencoba menganalisa, aku belum pernah benar-benar mencintai seseorang -- oh ralat, baru kemarin aku mencoba mencintai seseorang dan itu patah hati belum pulih, kurasa kau pun tau-- aku hanya sebatas menyukai atau mengagumi seseorang karena kelebihan yang ia miliki. Jadi, mau seperti apa dia di masa depan, itu bukan urusanku karena aku memang belum menginginkannya menjadi cerita di masa depanku," jawabku seperti biasa. 

"Tapi ibaratkan saja... Dulu aku suka mas itu karena sifat baiknya, lalu aku berekspektasi kelak ia akan menjadi orang keren, hingga akhirnya kita berpisah, lalu aku tak bisa membersamainya, dan tak tau jalan apa yang ia tempuh serta kisah apa yang ia alami saat aku tak bersamanya. Ternyata suatu waktu aku kembali bertemu mas itu dan dia yang sekarang tidak sesuai ekspektasiku, kurasa itu tak masalah, ya karena aku mengamati mas itu hanya sebatas mengaguminya, tidak berminat menjadikannya tokoh dalam ceritaku," ulangku lagi.

"Tapi aku berusaha masuk dalam permasalahanmu, jika seperti itu, dari sudut pandangku asal masnya tidak terlalu buruk, aku mungkin akan memilih tetap bersamanya. Aku sebagai wanita hanya perlu sosok pria yang bisa sabar membimbingku, itu kalo aku, ngga tau kalo yang lain. Keinginanku hanya sederhana, ingin bahagia dunia akhirat, masuk surga bersama keluarga, dan salah satunya berbakti pada suami yang pantas kubaktikan," tambahku.

"Mari kita batasi agar pembicaran ini tidak melebar kemana-mana. Aku tidak sebobrok itu," balasnya pendek, membuatku berpikir mengapa dia mengira aku menjatuhkan karakternya?

"Jujur, saat aku pulang kemarin, aku ingin bertemu," lanjutnya.

"bertemu untuk?" tanyaku kemudian

"Aku ingin mengajak ta'aruf," ucapnya singkat.


"Apa? Kamu serius?" siapa yang tak terkejut? Ini bukan hal sepele.

"Aku benar-benar serius. Kan aku sudah pernah cerita kalo sudah pernah membicarakan masalah pernikahan pada kedua orang tuaku," belanya.

"Ta'aruf itu bukan main-main," tegurku lagi.

"Aku hanya butuh kejelasan," what the fu---nny. Apa dia benar-benar dilema hingga lupa bahwa aturannya wanitalah yang butuh kejelasan dan kepastian? Aku tersenyum kecut mendengarnya.

Kutarik nafasku perlahan, "Emm aku dengar ta'aruf itu tidak boleh terlalu lama, apa kamu pernah mempelajari itu?"

"Hah? Maksudnya?" pertanyaan dibalas pertanyaan.

"Iya, ta'aruf itu ngga boleh lama-lama, tiga bulan kalo ngga salah, koreksi aja kalo aku salah," balasku sekenanya.

Hening. Mungkin dia sedang berpikir.

"Aku tahu, kamu hanya ingin memastikan apakah orang yang membuatmu jatuh hati itu bisa menerima keadaanmu yang sekarang atau tidak, tapi bukan dengan ta'aruf caranya. Eh ralat, kamu boleh ta'aruf ketika kamu benar-benar siap," tuturku lagi.

"Jika hanya kejelasan yang ingin kamu dapat, tanyakan saja baik-baik padanya langsung. Ingat, sesuai batasan. Ingat juga, jangan janjikan sesuatu yang belum tentu bisa kamu tunaikan. Wanita itu pengingat yang baik dan hatinya lembut,"

"Mungkin jika jawaban akhwat yang kamu incari itu tidak, kamu bisa mencoba belajar mengikhlaskannya, dan kamu pun tak keberatan dengan hal itu,"

"Tapi, jika ternyata jawabannya adalah iya, apa kamu siap setelah mendengar jawaban itu langsung mengkhitbahnya lalu menikahinya? Setahuku, ada pendidikan dan karier yang akan kamu dahulukan," adakah yang salah dari penjelasanku?

"Kau berbicara seolah tahu bagaimana pola pikirku saja," sindirnya. Dih, dasar.

"Koreksi saja jika aku salah menilaimu," balasku kesal.

"Jika yang kau ucapkan tak dapat kupegang, untuk apa aku masih mempercayaimu sampai detik ini," cih, sok manis sekali dia.

Hening (lagi). Kami larut dalam pemikiran masing-masing.
Seminggu yang lalu rekanku mengabarkan bahwa ada seseorang yang mengajukan CV padanya.  Aku merasa senang sebagai wujud empatiku padanya. Di sisi lain, hati kecilku bertanya, akankah aku juga merasakannya? Entahlah, aku tak tahu mana yang lebih dulu, jodohku atau mautku.
Kututup biodata diri yang siap kukirim via email dan kuurungkan niatku. Ya, aku berniat memberi CV pada orang yang kupercaya.
Setelah obrolan ini, aku meragu, mungkin belum saatnya.

"Kau mau bertaruh?" ucapku memecah keheningan.

"Apa?"

"Siapa di antara kita yang akan menikah lebih dulu?" mungkin itu akan masuk dalam daftar pertanyaan menggelikan yang pernah aku lontarkan pada rekanku.

"Aku tak suka taruhan, jika boleh memilih, mengapa kita tak menikah bersama saja?" jawabannya merusak humorku.

"Kau?" apa-apaan ini, ia membuatku tersedak.

"Ahaha tentu saja tidak. Aku dengan jodohku, kau dengan jodohmu, lalu kita melangsungkan pernikahan di waktu yang sama, kalo perlu di tempat yang sama, bukankah itu memudahkan teman-teman kita yang ingin hadir nanti?" ucapnya enteng.

"Ah syukurlah," jawabku, dia mulai mengigau. Kulirik jam sudah menunjukkan tengah malam, aku butuh istirahat untuk bekerja dan dia butuh istirahat untuk kuliahnya esok hari.


-------------------------------------------------

Sepertinya blog ini berubah genre karena aku lama tak menulis fanfiction di wattpad. Blog yang awalnya ingin kuisi seputar PKN STAN dan DJP ini justru berisi kisah romansa yang fiktif. Seperti stand up comedy, aku menulis cerita fiksi berdasarkan keresahan. 

Komentar

  1. Lah, kirain ini lu sendiri mbak, wkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha memang sengaja dibikin gituuu. Padahal mah belum

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.