Mati Rasa

Assalamu'alaikum

Bagiku, menulis adalah sarana penyembuhan. Ketika tak ada seorangpun yang bisa kuajak bicara. Ketika rasa percaya tak dapat ditawar harganya. Ketika dunia tak henti-hentinya memberikan pelajaran.
Pffftttt terkadang aku rindu bercerita lagi dengannya. Dengan dia yang tak hanya raganya yang menjauh, namun hatinya pun ikut menyusul pergi. Mau bagaimana lagi, rasa percaya itu tak ada harganya di matanya. Dan aku benci ketika diriku merindukannya.

"Kak, percaya ngga manusia seperti pohon pisang?" tulisan itu kukirim setelah beberapa bulir air mata berhasil lolos. Aihhh, kan udah janji gabakal nangis lagi!

"Manusia seperti pohon pisang? Manusia pohon pisang maksudmu?" jawabnya.

"Punya jantung ---- tapi ngga punya hati," balasku cepat, meninggalkan senyum pahit.

"Ngga ada hubungannya sama tidur kaya ikan, kamu kenapa tiba-tiba bahas manusia pohon pisang?" ocehan dua manusia aneh itu tak berujung.

‐---------------------------------------------------------------

Ohya ini tulisan sebulan lalu yang kusimpan di laptop, iya aku baru membuka Asus X454W lagi setelah sekian lama karena satu dan lain hal. Jadi, ya, Mulai Aja Dulu!!!

04 Juli 2019
Sesuai candaan Mas Fachry, aku menuliskan kecerobohanku hari itu di blog. “Mending lu tulis di blog biar kalo ada yang nanya tinggal baca, ngga perlu ngejelasin biar lu ngga tertekan,” begitu kurang lebih katanya. Kembali kusapa laptopku yang sudah dua bulan kuanggurkan di atas meja kosan, untuk sekedar menulis.
Hufft sebenarnya aku tak mengerti, mengapa Juni kali ini begitu kelabu. Bukannya aku menganggap sebagai bulan sial, hanya saja keberuntungan belum berpihak padaku di pertengahan tahun ini.

Diawali kepergian Bang Jeje yang belum bisa kupercaya karena dia tampak sehat sebelumnya membuatku teringat bahwa maut bisa datang kapan saja dan penyakit otak memang membunuh perlahan.
Lalu kepergian salah satu ibu negara, Ibu Ani Yudhoyono yang membuat hati ini terenyuh akan kesetiaan bapak SBY yang benar-benar tulus mencintai Bu Ani hingga akhir hayatnya.
Lalu keterlambatan bus pasca libur lebaran, saat tiba di kantor pukul 8.13 membuatku harus mengambil cuti tambahan (artinya mengurangi jatah cuti pula) sekaligus hikmah agar aku tetap bisa beristirahat sebelum beraktifitas
Sempat drop di awal tugas.
Keluarnya B.I dari IKON yang masih sulit kupercaya.
Ditinggal Kak Eriani untuk dua bulan ke depan cukup mengurangi rekan sharingku.
Ajun yang semakin sibuk dan semakin sulit diajak negosiasi.
Penyakit syaraf yang kembali kambuh setelah dua bulan hidup tanpa ke dokter, iya sebelumnya aku harus ke dokter tiap hari rabu dan itu cukup menguras dompet.
Jobdesk baru yang lagi-lagi tak seperti keinginan, belajar dari nol lagi seperti SPBU.
Dan di hari kerja terakhirku sebagai petugas front office, harus ku tutup dengan kecerobohan.

Syukurnya orang-orang di sekitarku langsung memberiku support
Sini mbak biar ku telfon,” Yuli yang maklum dengan kebiasaanku lupa menaruh HP segera merespon, akupun masih tenang, mungkin terselip di antara berkas. Berkali-kali tak berhasil, aku menyerah, lalu melanjutkan pekerjaanku.
Mbak, cari aja sampai ketemu dulu, piket biar aku yang gantiin gak usah dipikir,” ucap Luffy mencoba menenangkanku.
Belum ketemu juga? Telfon lah, nih tulis nomer lu,” tanpa kusangka ternyata Mas Fachry tanggap juga dan peduli pada adik juniornya yang baru ini.
Coba cek CCTV aja,” ibu Senior pun memberi masukan. Hingga aku menyerah karena tak kunjung ketemu di segala sudut ruangan dan kukerahkan daya ingatku yang tak seberapa. Google find my device juga tak kunjung terhubung dan berkali-kali ditelfon tidak ada yang mengangkat panggilan.
Serius hilang? Sini cek CCTV,” akupun merusak waktu waktu santai Kak Rizky sore itu.
Google find my device jangan pake computer, sini kubantu pake aplikasi,” akhirnya Kak Sintya turun tangan karena aku tak gercep menghadapi masalah.
Jar.. jar.. Kok bisa sih,” senior lain yang biasanya bersikap cuek (orang tertentu nyebutnya abangnya Fajar) pun cukup tak habis pikir dengan kelakuanku.
Ngga ada yang mau minjemin di HP dulu gitu? Kasian tau,” lagi-lagi Mas Fachry menjadi lebih peduli dari yang lain.


Entah ini ketidakberuntungan yang ke berapa, rasanya sudah mati rasa. Aku masih bisa tersenyum dan tertawa, entah harus kuwujudkan dengan cara bagaimana. Lebih cenderung bingung, aku harus berekspresi seperti apa? Sejujurnya bukan masalah harga yang aku khawatirkan, ya meskipun kejadian ini cukup membuatku lagi-lagi menunda keinginan untuk membeli laptop. Tapi memori yang kujalani dengan Xiaomi Redmi 4A itu. Smartphone itu dibelikan adikku di awal Januari tahun lalu, saat masih menerima uang bilanan tak genap 800 ribu. Pun banyak kenangan yang kulalui bersamanya mulai dari OJT, Latsar, pindah beberapa kosan, lika-liku berjaung di Cianjur, belum lagi nomor telepon yang sudah lama kupakai sejak SMP dan akun Gmail yang amat sangat krusial. Tentu saja harganya melebihi harga awal. Belum lagi aku khawatir ada data atau kontak yang akan disalahgunakan. Ya, kekhawatiranku tidak hanya sebatas harga melainkan isi.
Jangan sedih terus, jangan pasrah dulu,”
Seperti biasa, aku bisa apa selain menerima semuanya?

Kucoba meminjam ponsel teman untuk menghubungi adikku agar orangtua tak khawatir. Kutulis juga di akun sosial media agar tak percaya jika ada yang menghubungi dengan kontakku, dan mendapat reaksi, “jar serius ilang? Dimana? Kok bisa?” masa iya aku bercanda se-engga lucu ini sih.
Yeahh aku tak menyangka 2019 akan berjalan sealot ini. Aku berencana mengupgrade gear dan skill-ku, tapi semua itu urung kulakukan, terseret arus pekerjaan yang selalu menuntutku belajar dan belajar.
Alasanku lama tidak posting tulisan di blog ya karena aku kehilangan gadgetku dan pekerjaanku yang sekarang cukup menguras waktu + tenaga sehingga aku langsung tertidur ketika tiba di kosan.
Ada satu hal positif yang kudapatkan ketika aku selama lebih dari satu minggu tak bersama gadgetku, ya aku lebih bisa merasakan kepedulian dan kasih sayang yang tidak semu.

Bang Rusdi selalu menyempatkan waktu untuk menengokku setiap hari karena aku tak kunjung punya alat komunikasi.
"Buruan beli, Jar. Urus nomernya, kalo kamu ngga ada HP, terus selama ini kalo menghubungi orang tua pake apa? Lu kalo bangun pagi gimana?"
Kak Sintya selalu menepuk punggungku dan memberiku semangat.
Yuli selalu memberiku love sign dengan tangannya, meskipun aku menangkap bahwa dia sedang menyemangati dirinya sendiri.
Luffy selalu menyuruhku tersenyum dalam satu hari meskipun merasa penat.
"Aku belum melihat senyummu mbak hari ini,"
Kak Ira yang lebih sering mengunjungiku ke bawah karena menemuinya ke atas hanya membuat masalah, tetangganya terusik atas kehadiranku.
Kak Rizky yang menawariku makan malam saat lembur.
Orang-orang pelayanan yang memintaku santai dan beristirahat ketika aku terlalu focus.

Jika kalian mencari peran Ajun dalam bagian ini, dia sedang sibuk mendalami dunia barunya. Tapi yang aku ingat dari obrolan terakhir kami saat dia usai mengisi acara pagi dengan sebuah video motivasi, “berbahagialah apapun kondisinya, sebenarnya aku tadi sedang menyindir seseorang," ucapnya datar.
"Iya-iya, ngga perlu repot-repot diumumin pas acara ramai kalo cuma mau nyindir satu orang," jawabku kesal.
"Justru ini caraku mengungkapkan kepedulian secara sarkas,” Sejenak kulihat ekspresi mukanya yang tengil, ya, muka datar itu berangsur membentuk sebuah lengkungan, senyum tanda kemenangan. Sejak saat itu aku malas berkeluh kesah jika ada dia dalam lingkaranku.

Pernah juga ia mengirim sebuah postingan di Instagram yang berbunyi, "Apalagi bakatmu selain mengeluh?". Akupun sedikit kesal lebih tepatnya malu karena disindir anak kecil, yaps waktu itu usianya belum genap dua puluh tahun.
"Btw ya maaf to kalo aku suka mengeluh. Nek gasuka ya yaudah cukup tau aja di dirimu sendiri, nek mbok lokne terus aku kepikiran jadinya,". Maka dari itu, aku mulai berpikir dua kali jika ingin bercerita padanya, kecuali dia yang meminta.

Kabar baik dari hilangnya ponselku ini setidaknya selama satu minggu aku tidak ketergantungan dengan gadget. Aku bisa tidur lebih awal, tidak memikirkan hingar bingar grup, lebih menyempatkan diri dengan menulis dan membaca buku meskipun sedikit dan tak berlangsung lama ehehe. Tak lupa hilang juga riwayat perdebatan online-ku dengannya, dimana ketika membaca pesannya saja masih tak percaya jika itu nyata.

Wassalamu'alaikum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.