Berdamai dengan Diri

Assalamu'alaikum

Seperti biasa aku hanya ingin menuliskan apa yang aku pikirkan saat ini, mungkin akan pendek karena ini tulisan sekali jadi.

Sebelumnya, masih boleh berucap turut berduka cita kan ya?
Yashh, innalillahi wainna ilaihi raaji'uun. Telah berpulang Presiden RI kita yang ketiga, Bapak B.J Habibie, dimana kepergiannya benar-benar membuat Indonesia berduka ---- atas kontribusinya, ilmunya, ketulusannya, dan keteladanan yang ia tinggalkan.

Pun Indonesia tengah berduka atas musibah kabut asap yang melanda wilayah Riau, Sumatra, dan Kalimantan. Semoga kawan-kawanku tetap dalam lindungan-Nya.

Kali ini aku hanya ingin mengeluarkan apa yang membebani kepalaku sehingga rasanya aku tak mampu mengontrol pikiranku sendiri untuk beristirahat.

"Seseorang, aku pusing. Dan aku tiba-tiba demam,"
Yash, ungkapan itu hanya bisa kutulis di sini karena aku tak tahu kepada siapa ingin ku kirim pesan ini. Aku tak ingin membuat keluargaku di rumah khawatir hanya karena masalah sepele.
Pun untuk satu nama yang telah lama kusimpan, bukan lagi menjadi referensi, boro-boro mendapat kepedulian mungkin malah sama saja aku menyakiti diri sendiri. Mati-matian aku menahan jari dan menekan egoku, "jangan kirim itu, sama saja kamu menyiksa diri jika tidak siap dengan balasan yang kamu terima nanti," separuh diriku mencoba mengendalikam emosi.

Pfffttt honestly, aku sadar aku bukan prioritas untuk siapapun, tetapi apakah dia tidak bisa bersikap lebih manusiawi? Sungguh aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Bahkan aku merasa menjadi manusia bodoh yang bisa-bisanya bertahan dalam hubungan yang cukup toxic ini. Terima kasih adek telah hadir dalam kehidupanku sehingga kamu cukup bisa menjadi penawar racun itu.

Setiap manusia memiliki mimpi dan tentu saja mimpi itu didorong oleh ambisi dalam hidupnya. Dulu saat masih SMA, aku pernah berambisi mengejar pendidikan tinggi. Menempuh jenjang strata 1 di perguruan tinggi negeri bergengsi, lalu melanjutkan S2 ke luar negeri. Tapi, mimpi itu hanyalah mimpi. Kondisi ekonomi membuatku memutar otak dan akhirnya aku berada di sini. Selesai dengan gelar ahli pratama. Ambisi itu redup mengingat jenjang pendidikan yang terbatas oleh ikatan dinas.

Setahun yang lalu, aku mulai berambisi lagi, namun tidak terlalu tinggi. Aku ingin melanjutkan pendidikan dan lolos di percobaan pertama. Ambisi itu terus ada karena dengan kuliah lagi, aku bisa pergi dari sini. Terdengar seperti orang kurang rasa syukur bukan? Namun, lagi-lagi ambisi itu mulai redup, Allah membalikkan hati dan aku mulai sadar diri.

Lingkunganku sedikit membaik, meskipun aku juga kehilangan beberapa orang baik.
Dengan waktu yang hanya tinggal 6 bulan, apa aku bisa bersaing dengan kawan sekaligus kakak tingkat satu almameter? Padahal dulu, aku butuh waktu 16 bulan untuk benar-benar mengalahkan rekan sepenanggungan.
Aku sadar, aku bukan orang yang pintar, pun bukan orang yang rajin. Bisa dikatakan mungkin aku hanya orang yang beruntung. Dan aku juga sadar, keberuntungan tidak akan membersamai seseorang terus-menerus. Ada kalanya ia harus terjatuh dulu.
Saat ini aku malu. Malu karena kompetitorku yang memang lebih pintar nan rajin telah memulai langkah lebih dulu. Sedangkan aku, masih mengeluh pada kehidupan dan beradu dengan waktu.

Maka dari itu, aku mulai berdamai dengan diriku sendiri. Its okay, jika tidak lolos, itu bukan hal yang buruk. Itu adalah konsekuensi. Dunia tidak akan berhenti meskipun hingga lelah kamu tangisi.
Jadi, untuk kalian yang termakan ambisi, segeralah berdamai dengan diri. Lalu, berusahalah raih mimpi dan bertawakal setelahnya. Karena kita hanya mampu berdoa dan berusaha, hasilnya tetap saja kita serahkan ke Yang Maha Kuasa.

Semangat.
Dariku yang mulai membaik.

Wassalamu'alaikum

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.