Stasiun Kenangan, Sebuah Ketidakpastian

Bandung, 29 Mei 2019
Tengah malam

Entah sampai kapan, aku masih menanti, sesuatu yang tak pasti.

Malam ini aku duduk terdiam dan membisu dengan suara sirine dan dengungan kereta api yang telah beberapa kali berlalu meninggalkan Stasiun Bandung. Sesekali kutengok ponselku yang semakin kehabisan daya, mengecek pesan darinya yang tak kunjung muncul. Sepertinya dia benar-benar tidak peduli, batinku.

Sebelumnya, semua berjalan seperti biasa. Pagi itu, aku menulis pesan untuk Luffy bahwa aku akan sedikit terlambat beberapa menit dan meminta bantuannya agar memback-up kerjaanku sebentar.
Jangan lupa absen lebih pagi, nanti berangkat setelah ashar. 
Sebuah pesan pengingat masuk melalui whatsapp. Sepertinya setiap orang hapal kebiasaanku yang suka mepet saat absen.
Berbeda dengan ayahku yang selalu menyiapkan sesuatu jauh hari, aku baru merapikan ransel untuk pulang kampung di hari itu juga, beberapa jam sebelum keberangkatan, dasar aku. Cek dan re-check, aku memastikan kamarku rapi dan tidak ada perlengkapan yang tertinggal. Kubuka lemari, lalu kudapati jaket yang telah lama kusimpan untuk kukembalikan. Mungkin aku memang tak bisa memilikimu dan ini saatnya kamu kembali ke tuanmu, batinku.

Lain kali, kalau kamu jatuh cinta,
jangan lupa mengembalikan jaketnya.
Karena kalau kamu sedang berusaha melupakannya,
jaketnya akan selalu mengingatkanmu akan hari-hari dingin yang sudah kamu lalui bersamanya.

Aku tersenyum pahit saat 31 Maret lalu tak sengaja bertemu tulisan itu di timeline Line melalui akun Phospenous. Aku belum pernah menemukan bait sajak secocok ini. Mungkin semesta mendukung. Ck, hari-hari dingin, bukan cuacanya, melainkan karakter orangnya memang terlahir begitu.
Sontak membuat rekanku mengiyakan tulisan itu karena dia tahu lika-liku kisahku. "Cepet balikin. Kalo gabisa bungkus, aku bungkusin. Kalo gatau cara ngirim, aku anterin ke kurir," ucapnya peduli.

Suasana kantor kian sepi, ditinggal mudik pegawai, dan memang tak banyak tamu yang datang. Banyak yang memberi reaksi positif atas kepulanganku, meskipun aku tidak sesemangat dengan kepulangan sebelumnya.
"Wahh, bawaannya itu aja, Mbak?"
"Semangat, Mbak, sekian jam lagi pulang kok,"
"Ciyee akhirnya pulang, jangan lupa ya oleh-oleh,"
Aku sempat bercengkrama dengan senior di bidang yang lama setelah shalat ashar. Tanpa kusadari, Luffy dan Ajun mengamatiku saat mereka mengikat tali sepatu. Aku pun segera berpamitan dengan seniorku, lalu pura-pura tak menyadari kehadiran mereka.
"Jar, ngga pamit sama ini dulu?" Teteh meneriakiku ketika aku kabur. Akupun hanya menoleh, lalu bergegas merapikan barang di ruangan.
Kulihat Kak Rizky telah selesai berkemas dan akupun berpamitan dengan Luffy, bagaimanapun dia telah banyak membantuku.
"Balik dulu ya, Fy," ucapku singkat. Dan dari arah berlawanan Ajun masuk ke ruanganku, aku langsung berbalik arah, pergi dari sisi lain.
"Mbak, aku ngga dipamitin?" protesnya. Aku tetap pergi begitu saja, hingga akhirnya aku tak tega, "pulang dulu ya, semua. Maafin kalo ada salah, terutama Ajun. Ajun, maafin ya,". Dia tak menjawab, bahkan menoleh pun tidak. Dan aku tetap pergi. Ya iyalah.

"Jaketnya udah dibawa?" tanya rekanku.
"Udah," jawabku singkat, tau aja nih orang.
"Jadi, mau mampir ke kantornya nih?" tawarnya.
"Ngga, lah, ngapain. Sempet nanya sih tadi, mau ketemu apa engga, katanya sih ayo, tapi gatau deh," jelasku malas.
"Terus kamu bilang apa? Kok gatau? Bukannya seneng?" tanyanya lagi.
"Gak kujawab. Kaya gatau dia aja, kan selalu ngasih ketidakpastian. Mau ngetes juga, seberapa serius niatnya," balasku.
"Kalo ngga ketemu gimana? Sedih dong?" selidiknya lagi. Ini nguji keyakinanku banget kayaknya.
"Ya, yaudah. Bawa aja jaketnya ke rumah dulu. Sedih? Enggak yo, aku tuh udah mulai biasa aja, ya gimana orangnya gitu, udah sering sedih juga jadi lama-lama dibiasain aja. Cepat atau lambat dia pasti pergi, tinggal akunya aja yang harus nyiapin kelapangan hati," kurang jelas apa coba?
"Hmm, bagus bagus," tutupnya.

Seperti biasa, kami menyusuri jalan dengan kecepatan sedang sembari bercengkrama tentang banyak hal. Sore itu cerah, tetapi hawanya dingin, berharap tidak akan turun hujan. Dalam perjalananku, aku pernah diguyur hujan sepanjang jalan Cianjur - Bandung menggunakan sepeda motor. Dingin sih, tapi yang berkesan biasanya terkenang.  Sampai pada akhirnya, kendaraan roda dua ini berhenti melaju. Aku melihat sekeliling, sepertinya belum sampai di tujuan dan belum waktu berbuka. Tunggu---- ini kan kantor dia?!! Hadeehh.


"Kak... Ini serius dikasihin sekarang banget?" tanyaku masih tak percaya.
"Ya, udah sampai tempatnya, emang mau kamu kasih kapan lagi?" tanyanya balik. Pfffttt. Dengan susah payah kukeluarkan jaket itu dari ranselku. Perlahan aku masuk ke halaman kantor itu dan mendapati seorang petugas yang ada di depan.

"Permisi, Pak. Bapak bekerja di sini?" tanyaku canggung. Bapak itu tak merespons, justru memberi tatapan yang sulit kubaca. Gue salah ngomong kali ya?
"Emm maaf nih, Pak. Bapak bekerja di kantor ini kan ya?" apa bedanya -__-
"Ohh. Iya, kenapa?" jawab bapaknya ramah.
"Emm ini, Pak. Saya mau nitip jaket ini buat *** *******," aku menyebutkan nama lengkapnya, siapa tahu bapaknya belum paham.
"Ohh Dito ya, iya boleh, tapi ngga tahu Dito ada apa engga," alhamdulillah bapaknya paham. Tatapan bapak itu mengarah ke gedung, dan aku mengikuti arah matanya.
"Iya, Pak, Dito. Bisa kan ya di bapak aja?" jawabku dengan tatapan masih ke arah gedung. Takut-takut orangnya muncul.
"Bisa sih, tapi saya ngga tau, Dito udah pulang apa belum, ke rumahnya maksudnya," jelas bapaknya.
"Ohh. Gakpapa kok, Pak, ngga ketemu. Saya kasih ke Bapak aja, ngga harus sekarang," apa cara bicaraku kurang jelas?
"Hmm ya ya, Jumat ya berarti? Iya boleh kalo gitu," perbincangan yang ekspresif ini pun membuat pegawai lain keluar dari bangunan kecil (mungkin pos satpam).
"Oke, Pak. Kalo gitu terima kasih banyak ya, Pak. Mari, Pak," akupun segera berpamitan setelah urusanku selesai.
"Eh tunggu, Neng. Ini dengan siapa?" haduhhh, pertanyaan bapak itu membuatku menghentikan langkah seribuku.
"Emmm. Dia udah tau kok, Pak," ucapku sekenanya. Aku hanya tak ingin orang lain mengira yang bukan-bukan.
"Ohh, ya ya," jawab kedua Bapak itu dengan ekspresi yang sulit kuartikan, lalu kulanjutkan langkahku yang ke-997  dengan harapan bapak itu tak berpikiran apapun.

"Gimana, udah? Cerita dong," todong kawanku saat perjalanan kami lanjutkan.
"Ya, gitu...," akupun menceritakan sekilas temtang peristiwa yang masih aku ragukan kalo itu nyata.
"Hmm pantes mukanya keliatan seneng," pancingnya lagi.
"Seneng gimana? Enggak, biasa aja. Aku cuma mikir, tadi bapaknya sampai tahu rumah dia, berarti di kantor itu setiap elemen kantornya deket ya? Salut aja," jelasku. Asli kepikiran itu.
"Sebenarnya itu penting. Tapi btw, barang yang udah dikasih terus dibalikin gitu, pasti yang ngasih sedih lo," kali ini ucapannya terdengar serius.
"Aku cuma minjem, Kak, terus kebetulan dikasihin sekalian karena dia ngga make. Lagian dia nggak mungkin sedihlah, mana bisa," gerutuku.
"Sama aja. Yakin ngga sedih?"
"Yakin banget, dia ngga mungkin sedih cuma karena hal sesepele ini, kepikiran aja syukur syukur," makin kesal aku dibuatnya.
"Yakin? Tau dari mana?" mencoba mengujiku, sob?
"Banget. Kak, aku siapa sih? I'm nothing for him. Aku bukan siapa-siapa di matanya," dan jawabanku itu mampu membungkamnya untuk bertanya lagi. Entah, kami larut dalam pikiran masing-masing.

Setibanya di Stasiun Bandung, tak lupa kuucapkan terima kasib pada kawanku atas kegilaan petang ini. Kuedarkan pandanganku ke penjuru stasiun, lalu teringat pertemuan setahun yang lalu, tak menyangka benar-benar Bertemu untuk Berpisah.

Selepas beribadah dan menyiapkan segala starter pack mudik ala Fajar, kudapati pesan masuk dari rekan kerjaku yang kebetulan mudik lebih dahulu, emmm lebih tepatnya selisih empat jam. Mungkin kalian bisa mencarinya, tentang KA Lodaya yang anjlok di Jalur Nagrek pada 29 Mei 2019. Innalillahi, kaget? Pasti. Aku tak tahu kenapa, hati kecilku mengatakan kejadian ini akan berimbas pada perjalananku nanti. Di sisi lain, rekanku yang sudah melakukan perjalanan terlebih dahulu, kereta yang ia tumpangi ditarik kembali ke Stasiun Bandung agar bisa menempuh jalur utara. Allahu, entah sampai kapan ia akan tiba di rumah, begitu pula aku.
Ruang tunggu sangat penuh, beberapa penumpang terlihat tak tenang. Ya, hingga pukul 20.20, keretaku yang harusnya sudah berangkat, belum tampak wujudnya sama sekali. Harap-harap cemas, aku tak berani memberi kabar pada orangtua, tak ingin mereka khawatir. Dan di sisi lain, ponselku memunculkan notifikasi pesan dari keluarga, menanyakan sudah sampai mana perjalanan yang kutempuh. Operator selalu memberi info, bahwa kereta akan siap dalam waktu yang tak pasti.

Aku sedikit bergumam, doaku yang mana yang baru terkabulkan. Setelah di PHP manusia, lalu kini jadwal keberangkatan kereta. Dalam keheningan malam yang ditemani dinginnya Kota Bandung, membuat pikiranku berjalan meski raga ini pasrah di lantai dekat peron.

Seharusnya aku bersyukur, masih selamat dari musibah kereta untuk yang kedua kali, setelah jatuhnya tiang listrik yang menimpa KRL Bogor 10 Maret lalu.
Seharusnya aku bersyukur, meskipun harus menunggu sampai tengah malam, keretaku tak dibatalkan. Iya, stasiun pemberhentian yang dilalui jalur selatan terpaksa dibatalkan.
Seharusnya aku bersyukur, PT KAI tak pernah lupa memberi recovery. Meskipun, waktu yang terlalui tak dapat terganti.
Seharusnya aku bersyukur, dia bisa bertemu keluarganya lebih awal, tanpa harus menemaniku menunggu jadwal keberangkatan yang tak pasti.
Dan seharusnya aku bersyukur, masih banyak orang yang peduli dan mau menemani saat jiwa introvertku kambuh di tempat umum.

Mudik kali ini, aku belajar banyak hal.
- Tulisan ini disempurnakan dalam perjalanan menuju Stasiun Bandung.

Dan lain kali, kalau kamu jatuh cinta,
pastikan dia mencintaimu juga.
Atau paling tidak,
pastikan dia tidak punya orang lain dihatinya.

— t.f.w.,
#iwritewithhearts


Komentar

  1. Semoga dirimu baik-baik saja ya. Sesaat saya jadi ingat karakter One Piece, Luffy deh karena nama tokoh yang sama.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.