Stasiun Kenangan, Bertemu untuk Berpisah.

Ning Stasiun Balapan
Kuto Solo seng dadi kenangan
Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu

Siapa sih yang tak kenal dengan lirik lagu di atas? Seperti Jogja yang memiliki lagu Terminal Giwangan, Solo pun memiliki lagu tentang kisah asmara berjudul Stasiun Balapan ciptaan Didi Kempot.

Jum'at senja kala itu akhirnya aku bisa merasakan bahagianya pulang tepat waktu, atau malah menunggu waktu? Biasanya aku masih duduk anteng di depan komputer ketika orang-orang riuh bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Dan 8 Juni itu menjadi saat dimana aku yang paling siap untuk pulang tepat waktu, hingga ada beberapa pegawai menyapaku "wah udah siap pulang aja nih", ciyee kelihatan antusias banget. Aku merasa bersyukur masih dapat memegang tiket mudik di hari terakhir kerja tanpa mengganggu jam kerja. Fisik siap. Semangat siap. Bawaan siap (yah meskipun selalu mepet kalo berurusan dengan packing). Makan siap (cuma susu dan makanan ringan wajib dibawa). Oleh-oleh? Setengah siap. Dengan bismillah aku berangkat menumpang Kak Rizdar. 

Sepanjang jalan kami tak hanya diam, pasti sangat bosan. Dua jam lebih berkendara saat bulan puasa. Memang tak ada rasa haus dan lapar karena kami menembus dinginnya udara Jawa Barat. Hanya saja pegal dan sedikit kesusahan dengan bekal masing-masing yang cukup memakan tempat. Kak Rizdar pun dengan sabar mendengarkan keluhanku sepanjang jalan. Dan dia jadi teman perjalanan yang baik karena sepanjang jalan aku ditunjukkan tempat-tempat yang kita lewati. Mulai dari daerah yang selalu macet, daerah yang jalannya sangat berkelok, gerbang tol termacet, KPP Pratama Soreang, BDK Cimahi, dan yang terselip KPP Pratama Cimahi. Ah iya, Cimahi. Tak dapat dipungkiri, rasa excited bukan hanya sekedar akan pulang kampung, tapi memang aku ingin bertemu seseorang yang akhir-akhir ini sangat baik padaku. Jujur ada keraguan di sana, mengapa aku sejauh ini? Bagaimana jika ia masih sama seperti dulu saat kami belum saling mengenal. Dingin dan menyebalkan.
Terselip rasa khawatir saat baru tiba di Cimahi, jalannya semacet ini, apa aku tega memintanya? Apa aku tidak egois? Mementingkan keinginanku daripada keselamatannya atau waktu berkumpulnya dengan keluarga.
Oh ya, tulisan ini memang bukan menceritakan tentang Stasiun Solo Balapan. Tapi perjalananku dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Solo Balapan. 

Setelah membatalkan puasa dengan ta'jil yang dibagikan adik berseragam pramuka di jalan macet tadi, Kak Rizdar masih membantuku mencarikan oleh-oleh karena kekecewaan melewatkan Toko Bolu Susu Lembang. Dia sangat baik masyaAllah, akhirnya aku diantarkan membeli mochi di Kartika Sari depan Stasiun Bandung. Lagi-lagi ada rasa khawatir di sana. Apakah dia sudah berbuka dengan baik? Bagaimana jika dia menunggu terlalu lama? Ah ingin memintanya pulang saja, tapi kurasa itu jauh lebih tega.


Hmm ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Stasiun Bandung. Dengan sedikit keberatan (karena barang bawaan sih), aku mulai mencari titik terang berupa keramaian, asli gajelas. Yaps, aku menemukan keramaian, entah dimana pintu masuknya yang penting aku menemukan minimarket, ruang tunggu, dan yang paling penting mesin Cetak Tiket Mandiri. Fokusku tertuju pada smartphone untuk mencari kode booking tiket saat itu, mengabaikan entah sekarang dia ada dimana. Belum menemukan apa yang kucari, aku merasa ada orang yang mengamatiku dari dekat, lebih tepatnya seperti orang yang berdiri di sampingku. Aku ragu untuk melihat sekitar, barangkali itu hanya firasatku saja, atau memang orang yang sedang sibuk mencari sesuatu juga sama sepertiku, stasiun cukup ramai saat itu. Entah dorongan dari mana, aku mencoba melirik ke arah kiri, yak firasatku benar, ada orang yang berdiri tegak di sampingku, tapi tak terlihat sibuk. Aku mencoba mendongakkan kepalaku karena dia cukup tinggi hanya untuk melihat apa yang sebenarnya orang ini lakukan. Sial, dia justru memalingkan muka. Hmm aku sedikit berpikir bahwa ini tak wajar. Tunggu, aku merasa tak asing dengan jaket yang ia pakai, ya aku pernah melihatnya ada di layar ponselku. Dan... Boom. Itu dia. Aku refleks memukul lengannya pelan karena ulahnya yang hampir membuat jantungku tak normal, tentu saja hanya dengan perantara smartphone. Dalam hati aku bergumam, "sial, drama banget ni anak, tinggal nyapa dari jauh apa susahnya,". 

Aku meninggalkannya menuju mesin CTM, dan saat mengantre sempat kulihat ia masuk sebuah minimarket. Hmm, jangan bilang dia belum mengisi perutnya. Sejenak aku berpikir "itu sungguhan dia?".
Tak berselang lama aku kembali menuju tempat kami bertemu, tapi ku tak menemukan sosoknya. Hmm jangan-jangan tadi cuma ilusi, masak iya? Aku mengedarkan pandanganku, takut-takut ia mengejutkanku untuk kedua kalinya. Nihil. "Aih ngga lucu kalo malah jadi aku yang repot nyari anak ilang, kali aja emang ilusi," keluhku. Aku memutuskan untuk mencari tempat duduk dan ternyata netraku menangkap sosoknya, iya dia sedang duduk dengan pandangan yang entah kemana. Ah seperti vampire yang baru masuk ke dunia manusia saja makhluk ini. Aku masih berdiri di tempat yang sama, barangkali ia mau menyusulku. Tapi sedari tadi dia tak pernah menatap titik kami bertemu, seperti orang yang sengaja ke stasiun untuk pergi, bukan menemui seseorang, aih makhluk apa ini?
Aku mencoba memanggil namanya, masih tak merespons. Apa aku salah nama? Aku mencoba memanggilnya berkali-kali dengan semakin menambah volume suara, masih tak merespons. Apa dia lupa nama sendiri? Dengan kesal kuhentakkan kakiku menuju tempatnya duduk bersama bawaan penuh di tangan. Dan dia hanya menatapku tak berdosa. Demi rumah batu Patrick mengapa aku bisa sangat menginginkan kehadirannya saat ini padahal kutahu dia sangat dingin? Hmm rasanya ingin lebih cepat pukul 20:20 saja.

Tak ada yang istimewa setelahnya. Hanya duduk di tempat yang sebenarnya tak layak dijadikan tempat duduk, tapi aku suka. Selebihnya aku mengagumi ceritamu yang tak terputus. Terkadang aku ingin melihat ekspresi dan netramu, tapi apa daya aku tak mampu. Cukup mendengar ceritamu yang kadang terdengar menyebalkan, tapi aku suka, kapan lagi kamu bisa bercerita tanpa harus menutupi semuanya. Ya, sebenarnya aku menunggu saat dimana kamu bisa bercerita panjang padaku. Tanpa kusadari, aku telah lama tersenyum sendiri, hingga meninggalkan stasiun ini. Satu hal yang menurutku lucu, aku menukar buku saku (yang sampai sekarang belum sanggup kurampungkan) dan jaket kekecilanmu dengan Coconut Delight dan Swiss Chocolate yang sengaja kubeli untuk adikmu.

"Udah tau batu ngga bilang"

"Enak ya jadi robot"

Dan masih banyak ucapan sarkas yang menandakan bahwa - - - ya memang itulah kamu.

Tak terasa mulai terdengar bahwa keretaku sudah siap, aku segera beranjak pamit. Aku sempat menengok kembali tempat kita duduk sebelum kuserahkan tiket pada petugas, namun dirimu telah menghilang. Dengan langkah ringan aku menuju gerbong paling ujung KA Lodaya Lebaran malam itu sembari merapal doa semoga kamu juga tiba dengan selamat. Sejauh ini, aku merasa saat itulah rasa bahagia menyelimuti setelah dua bulan lebih aku berada di sini. Dan sepanjang perjalanan, aku masih menatap lekat dua benda itu, sedikit pertanyaan mulai menghampiri, pantaskah aku memilikinya?

Dan sampai detik ini, aku masih menganggap bahwa bisa bertemu denganmu lagi hanyalah ilusi.

Kisah di atas hanya rekayasa belaka, maaf jika terlalu mendramatisir keadaan. Jadi, apakah sudah cocok dibuat cerpen atau novel?

Oh ya, selamat berkumpul bersama keluarga di Hari Raya Idul Adha ini. Aku cukup senang melihat kalian dari sini sibuk membakar sate bersama. Barangkali mau ke Cianjur ngebawain hasil olahan di rumah, sabi sangat. Mari bercengkrama. Semoga rejeki kita tambah dimudahkan sehingga tahun depan bisa qurban beneran, ngga cuma korban perasaan ehehe. 

Untukmu, kapan aku diajak untuk belajar masak bersama ibumu? Wahaha saha jar saha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.