Hujan, Peluk Aku!

Assalamu'alaikum kawan...

Ciyeee kaget ya sebulan udah update berkali-kali biasanya berbulan-bulan cuma sekali. Mumpung ada niatan nulis dan kerjaan di kantor belum terlalu banyak (iya tapi laporan OJT malah ngga dikelarin) nih. Mungkin hawa-hawa Syawal masih berasa jadi customer masih pada mudik juga, tapi CS udah stay di tempat kerja dari jauh hari hmm. Ditambah dengan dijadikannya tanggal 27 Juni lalu sebagai hari libur karena Pilkada serentak, jadi tambah sepi itu hati kantor. By the way, ngga pada golput kan? Hehe...

Meskipun seharusnya ini jadi kesempatan kedua untukku dalam memilih pemimpin daerah, tapi karna satu dan lain hal di usia yang sudah kepala dua ini belum ngerasain namanya milih pemimpin. Tak apa, tak perlu sedih yang penting milih pemimpin rumah tangga ngga boleh kelewat, aelah umur. Oiya kali ini aku golput karena ngga memungkinkan pulang kampung lagi aja koq dan kebetulan dapet amanah buat lembur (meskipun di absen tetep tertulis libur, ikhlasin aja macam doi).

Sesuai judul di atas, kali ini aku akan menceritakan korelasi antara hujan dan kerinduan. Eh, ngga lah, mana ada, kelihatan banget orangnya susah move on. Tentang hujan yang turun di bulan Juni, aku jadi teringat dengan puisi favorit sahabatku yang hingga sekarang aku masih belum paham di mana letak daya tarik puisi tersebut, Hujan Bulan Juni. Eh puisi apa film juga yak? Heuuu mate maafkan aku yang cuek dan batu tak seromantis kamu hmmm.... Alhamdulillah akhir-akhir ini beberapa daerah khususnya Cianjur sedang diberi rezeki berupa hujan, begitu jugakah dengan daerah kalian? Puncaknya mungkin jum'at pekan lalu. 


Saat itu, seperti biasa aku mampir ke seksi sebelah untuk sekedar menumpahkan isi hati pada seorang pramubakti. Tentang kerinduan pada keluarga, tentang perasaan yang dipermainkan, tentang bahu yang perlu dikuatkan, hingga akhirnya cuaca sore itu mendorongku untuk sekedar meletakkan kepala sejenak di atas meja kerjanya. Tak sengaja mataku bertemu pandang dengan seorang pegawai senior dan aku hanya bisa memberinya senyuman. Kulirik jam di komputer dan kuputuskan untuk pamit menuju masjid karena langit pun terlihat semakin gelap. Lapangan voli di depan masjid yang biasanya diramaikan para pegawai lelaki pun turut sepi sore itu. Yak, masjid kantor memang tidak jadi satu bangunan dengan kantor, harus menuruni tangga pula karena lahan di Cianjur yang tidak rata. Setelah membasuh dengan air wudhu yang dingin, kulihat diriku di pantulan cermin, sekelebat bayangan ayah pun sempat hadir membuat hati ini sedikit terasa sesak, iya, pulang masih lama. 

Terasa rintik gerimis membuatku berinisiatif menyelamatkan pantofel dari tepi masjid agar tidak terlalu basah nantinya. Setelah salam di rakaat keempat, terasa hujan makin deras. Allahumma sayyiban nafi'an (Ya Allah semoga hujan ini lebat dan bermanfaat). Kuselipkan doa ketika turun hujan di antara dzikir dan doa-doaku yang lain. Sore itu, di tengah hujan yang amat sangat deras, aku berada seorang diri di dalam masjid. Syahdu. Mungkin ini jawaban atas permintaan, Allah izinkan aku beristirahat sebentar saja. Aku jadi teringat, salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah ketika turun hujan, dan sepertinya aku akan berlama-lama curhat pada Allah kali ini karena hujan pun enggan untuk mereda. 

Kutumpahkan semua penat yang ada di hatiku sore itu, berharap mampu mengeluarkan air mata bersama turunnya air hujan dari langit. Teringat orang rumah yang semakin sering menghampiri di alam mimpi, teringat pesan ayah yang memintaku menyempatkan waktu untuk pulang, teringat ayah yang selalu menunggu kereta yang kutumpangi benar-benar pergi meninggalkan stasiun, teringat ayah yang tempo hari khawatir menanyakan kabar karena saat itu ayah tau aku kembali ke rantau dengan kondisi yang kurang baik (tapi maaf ayah, aku hanya ingin membuatmu tenang dengan mengatakan aku sudah baik-baik saja).  Hujan, peluk aku. Sampaikan rinduku pada ayah saat ini juga. 

Nyala AC menambah dinginnya suhu dalam masjid itu. Aku berharap tak berwatak sedingin suhu sore ini. Cukup dia, dia yang dingin dan tak lagi menghangat. Jika kalian pikir aku ceroboh karena menyalakan AC saat hujan, terimakasih atas hujatannya di keadaan yang kalian tak tahu kondisi sebenarnya, meskipun menyakitkan, aku akan berusaha tersenyum. Untuk pertama kali, aku kecewa dengan diriku yang mudah menaruh rasa percaya. Jika memang dia orangnya, maka segerakan. Tapi jika dia bukan orangnya, kumohon mudahkanlah untuk mengikhlaskan. Allahu Rabbi... Ajari aku melupakan tanpa membenci. Kurang lebih begitu pintaku agar aku tak berlarut dalam kekecewaan. Entah, aku jadi semakin takut untuk mencintai (kecuali untuk Allah). Jika dulu aku takut mencintai duluan karena kasus bertepuk sebelah tangan. Kini akupun takut untuk menerima orang yg mengaku menaruh perasaan. Hujan, peluk aku. Sampaikan rinduku pada ayah saat ini juga. Pada sosok lelaki yang mencintaiku dengan tulus sejak aku dilahirkan namun cintanya belum bisa kubalas dengan maksimal. 

Hujan kian deras. Kuputuskan untuk mengambil Al-Qur'an di atas lemari untuk menemani. Kulanjutkan tilawahku sore itu untuk mencari obat penenang. Ada kalanya suaraku memenangkan setiap sudut ruangan. Akupun teringat respon teman ketika aku mengikuti lomba tartil antar TPQ saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun,  ada kalanya juga suaraku beradu dengan suara petir, membuatku terdiam sejenak. Hujan, peluk aku. Sampaikan rinduku pada ayah saat ini juga. Dialah yang tahu, bahwa aku paling tidak bisa untuk berdiam diri sendiri ketika hujan deras apalagi diiringi suara petir dan cahaya kilat. Sedangkan orang-orang sedang berkumpul di sudut ruang yang berbeda. 

Aku memutuskan untuk menyudahi tilawahku. Namun, langit masih enggan menyudahi tumpahan airnya. Aku mencoba merebahkan tubuh, bukankah sedari tadi aku memang butuh tidur? Sayangnya, mata ini menolak untuk terpejam, menerawang ke luar hingga hujan sedikit reda. Terlintas bayangan bapakku yang lain, iya bapak kasi, tak adakah satu orangpun yang mencariku saat ini di ruangan sana? Entah sudah berapa lama di dalam sini, aku memilih untuk menembus hujan yang kini mulai mereda. 

Rasanya? Hmm seperti kembali ke realita... Ketika hendak menaiki tangga, seorang cleaning service menyapaku, "jangan hujan-hujan neng nanti sakit" ahh masih ada yang peduli ternyata. Kebetulan, ruanganku tepat di sebelah pintu masuk. Otomatis mata ini melirik ke arah jam dinding, sepuluh menit lagi jam pulang kantor, pantas orang-orang terdengar riuh. Tunggu, aku menghilang hampir satu jam dan tak ada yang mencari. Wew. Dua langkah memasuki ruangan, "jar, dicari bapak tadi" seorang pegawai menyapaku sebelum aku tiba di tempat duduk. Kubuka smartphone dan kudapati satu panggilan masuk, dari pegawai juga. "Jar, kemana aja, dicari bapak tuh," kali ini pegawai yang panggilannya tak terjawab itu menyampaikan isi pesannya secara langsung. Aku sedikit tersenyum melihatnya. See? Siapapun kalian, masih ada koq orang yang menghargai keberadaan kalian meskipun campur tangan kalian tak seberapa. Dan untuk siapapun kalian, jangan bermain-main dengan kepercayaan seseorang ya, kadang kala rasa percaya itu mahal harganya. Kalo ngga percaya baca deh cerita Kancil dan Serigala. 

Sampai berjumpa dalam suhu yang lebih hangat, 
Wassalamu'alaikum

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.