Cerita : Menunggu Hujan Reda

Ini kali ketiga aku menawarkan tebengan untuk pulang bersama teman sepenanggungan
Dan entah kali ke berapa aku menolak untuk di antar pulang oleh rekan yang lain.
Maaf, saya keras kepala, masih ingin menjaga hati orang yang rajin menyakiti saya.

Sore kemarin, langit benar-benar jauh lebih gelap dari biasanya.
Aku memutuskan pulang lebih cepat untuk mengantisipasi hujan, pun tidak cuma aku, ada teman yang harus kulindungi dari dinginnya air hujan.
"Tumben jar pulang jam segini," sapa pegawai yang baru mengenalku belum genap satu minggu. Menggelikan memang.

Dan benar. Hujan semakin deras ketika masih ada sepertiga perjalanan lagi yang harus kutempuh. Mau tak mau, kami basah ketika tiba di rumah singgah masing-masing. Ah, ada rasa tak enak di sana.
Akupun segera mengirim pesan permintaan maaf. Dan ia masih bisa mengucapkan terima kasih. Wah, manis sekali.

Hujan petang itu pun membuatku teringat akan beberapa memori yang kulalui tentang hujan. Ini memang tidak biasa. Aku biasanya lebih memilih membiarkan hujan turun dan menunggu hujan reda di kantor ketika mendung menjadi tanda.
Seperti suatu sore, perhatianku dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menghampiriku sendiri di dekat pintu masuk. Kami sama-sama menunggu hujan reda. Diapun memulai pembicaraan kesana dan kemari. Dan di setiap obrolan kami, dia selalu memintaku bersabar karena jauh dari keluarga. Pun saat aku pernah terlambat, dia dengan sengaja menghampiriku dan menanyakan apa yang terjadi. Wah, ini manis juga.
"Saya yang ketemu keluarga tiap malem aja masih suka kurang, apalagi kamu yang berbulan-bulan ngga pulang, yang penting komunikasi, sabar ya," ucapnya dengan gaya khas yang ia miliki. Sebenarnya agak tidak sinkron dengan situasi, tapi aku tetap menghargai kepeduliannya.


Ohya, aku teringat cerita kakak beradik yang bekerja di tempat yang sama.
Sore itu, langit memang mendung. Sang adik baru menyelesaikan pekerjaannya dan berinisiatif untuk pulang. Ketika hendak ke lantai tiga tempat ia menaruh barang bawaannya, ia sempat bertemu teman kakaknya di lantai satu.
"Mas, kok di sini aja? Tumben belum pulang?" sapanya ramah.
"Nungguin masmu masih di atas," jawabnya.
Si adik pun segera ke atas untuk membereskan barang bawaannya. Ketika hendak pulang ia melihat kakaknya yang masih bekerja, padahal sudah jam pulang. Si adik pun berbalik arah, mengurungkan niat untuk pulang.
"Masih banyak kerjaan mas?" sapanya.
"Enggak juga, males pulang aja," jawabnya. Si adik menatap sekeliling, layar monitornya memang menampilkan gambar sebuah permainan, tapi tidak dengan mejanya, berkas ada dimana-mana.
"Mau kubantu?" tawarnya.
Sang kakak pun membereskan kursi yang ada di sebelahnya, iya, kursi itu pun mulanya dipenuhi berkas.
"Kamu duduk di situ saja sudah cukup membantu," jawabnya dengan senyum yang tak pernah absen.
Meskipun menurut, ia cukup kasihan melihat kakaknya yang terlalu bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya. Ada rasa yang salah tumbuh subur di hatinya.

"Kamu ngga pulang? Keburu hujan," tanya sang kakak melihat adiknya yang beberapa kali menatap jendela luar. 

"Engga mas, pasti kehujanan di jalan kalo ini mah, mas sendiri masih di sini," si adik balik bertanya.
"Aku sih bebas, tapi alasanku sama denganmu, eh suara apa itu?" jawabnya dengan pandangan tak lepas dari monitor.
"Udah hujan mas, sepertinya makin deras. Kalau sambil main game kapan selesainya," gerutu si adik.
"Hiburan aja, eh tolong ambilkan kertas di sana," pinta sang kakak.

Si adik pun menurut lagi, berdampingan terlalu lama dengan kakaknya memang tak baik. Tapi kertas yang diminta pun tak dapat ditemukan, hingga sang kakak harus turun tangan. Bersamaan dengan itu, muncullah Bima, teman kakaknya yang tadi bertemu di lantai satu.
"Masih lama, Gus? Mau dibantuin ngga?" tawar Bima. Si adik hanya menatap aneh. Tak biasanya Mas Bima menawarkan bantuan apalagi sampai menyusul ke ruang kerja.
"Udah selesai, Bim. Kamu kemana aja tadi baru nawarin, untung ada Alifa, ya ngga?" sindir Bagus. Entah bagaimana, Alifa merasa Bima memberi pandangan tak suka.
"Alifa engga membantu banyak koq, pulang duluan Mas Bagus, Mas Bima," pamit Alifa untuk menghindari kecanggungan.

Mungkin beberapa dari kalian ada yang tidak paham. Itu kakak adik beneran?
Bukan, mereka hanya rekan kerja yang seperti kakak beradik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.