Tetap Bertahan

Tak pernah kusangka
Tak pernah kuduga
Kita kan berjumpa dan telah bersama

Entah kenapa, aku teringat lagu yang kental dengan iringan musik Melayu itu.
Malam itu seperti biasa aku menceritakan sesuatu yang membuatku senang dan sesuatu yang membuatku sedih pada rekan seberang ruanganku. Yah, aku rasa bercerita sekarang menjadi kebutuhanku mengingat kondisiku saat ini. Syukurnya, rekan-rekanku tak pernah keberatan mendengarku, justru aku dianggap tidak baik-baik saja jika berubah menjadi pendiam.

"Kak minggir deh," usirku. Padahal itu tempat duduknya.
"Kenapa?" tentu saja dia keberatan dengan tingkahku. Ah tidak sepenuhnya, dia selalu mengerti kegelisahan adik kerjanya ini.
"Diam dan dengarkan," titahku. Dih otoriter sekali, siapa yang ngajarin?
"Apaan?" haha sepertinya dia makin bingung. Pekerjaannya sehari-hari adalah mendengarkan musik. Terkadang ia merekomendasikan musik seleranya padaku, tapi sampai sekarang aku belum tertarik untuk itu.
Aku pun mencoba mencari lagu itu di komputernya dan ingin melihat bagaimana pendapatnya.
"Bagus engga?" tanyaku klise.
"Biasa aja," hadeh.
"Tunggu deh, aku cepetin ke bagian ini, gimana?"
"Apasih? Udah tau ini mah, biasa aja," katanya mulai kesal.
"Yah, kita beda selera," ucapku lesu karena kalah.

Oh ya, kakakku yang satu ini cukup pengertian. Selain mendengarkan kegelisahanku, dia kadang juga membantu agar aku merasa lebih baik.
Pernah suatu sore, karena setiap libur akhir pekan aku tak punya teman, dia berinisiatif meminjamkan headphone yang selalu ia tinggal di kantor agar aku tak kesepian.
"Kalo kamu suka, mending kamu beli sendiri," usulnya.
"Jangan deh kak, bapak juga kadang bilang gitu. Tapi, aku takut kalo difasilitasi nanti malah aku makin kecanduan dan kumat lagi, kan aku mau mengurangi musik," jelasku.
"Ya aku sih cuma nyaranin, daripada kamu ketakutan juga di kos sendiri mulu," ucapnya.
"Hehe makasih. Tau sendiri kan kak, aku sama beliau pemahamannya jauh banget, jadi mau mencoba mengimbangi dari sekarang," balasku pede.
"Heleh, emang udah pasti sama beliau?" ejeknya.
Terdiam sejenak, dalam hati pun aku mengiyakan, seharusnya memang bukan karena beliau. Tapi, aku ingin jadi baik juga sejak kenal dengan beliau.
"Ah kakak ini ngga konsisten, kalo aku pengen menjauh aja dinaikin feelnya biar pede, kalo aku pede aja malah dijatuhin," rengekku.
"Ya itu sih terserah kamu, eh kalian yang ngejalanin," jawabnya enteng.
"Ih jijik dengernya, kalian... Kaya aku ada hubungan aja, padahal temenan aja susahnya minta ampun" aku memang merasa geli jika ada orang yang kukenal terlalu berpihak pada sosok beliau ini.
"Ya emang kalian kan, masak kamu doang, kan sama beliau," belanya lagi. Masalahnya memang ini kesalahanku dalam menaruh hati.
Aku pun merampas headphonenya. Huh, tak tahu diri memang. Sudah mengambil alih kursi, komputer, sekarang headphone.


Kini tiba saatnya ku pergi
Kumohon jangan tangisi walau perih
Suatu saat nanti, untukmu di sini, ku akan kembali

"Oalah, lagunya buat beliau? Pantesan tiba-tiba suka," sindirnya setelah mendengarku menyanyikan sedikit bagian lagu itu.
"Eh kagak yak, aku emang udah suka lagu ini dari dulu," kilahku kesal. Seakan semua ceritaku terkoneksi dengan beliau.
Ah meskipun aku pergi, dia juga ngga akan nangis. Yang ada malah sebaliknya, pikirku saat itu.

"Kamu tu tobat sambel tau gak?" ucapnya tiba-tiba.
"Kaya pernah denger, maksudnya?"
"Hari ini bilang kesel, nangis, mau ngejauhin aja, gak mau bertahan sama yang gak ngasih kepastian. Esoknya udah girang lagi, dideketin lagi, senyum-senyum lagi. Kasian tuh hati kamu, kan kamu perasa," tegurnya.
Pfffttt... Ada benarnya juga. Temanku selalu mengingatkanku agar menjauhi dan lebih menjaga hatiku sendiri, bukan terus berkorban perasaan hanya agar dia tak merasa kecewa.
Aku sedikit terharu karena mereka sangat mengertiku. Ini pertama kalinya anak polos jatuh hati, dan mereka tak ingin kawannya terus merasa berharap.

"Kamu ragu?" adalah jenis pertanyaan yang sering kudapat.
Tentu saja aku tak terima. Karena dari segi pertanyaannya seperti aku yang menggantungkan harapannya.
Bukan begitu. Aku ragu, karena dia juga ragu, pun dia tak pernah ada usaha untuk membuatku yakin.
Dan hingga detik ini, belum ada ucapannya yang bisa kupegang.
Dulu, aku sempat jatuh dalam ucapannya yang baik nan manis.
Tapi di kemudian hari, ucapan itu seperti pohon yang ditebang oleh gergaji ulahnya.

Jika aku bisa, aku ingin membunuh perasaan ini. Karena orang lain tak tahu betapa lelahnya menjadi seperti ini.
Mencintai seseorang yang di hatinya telah diisi oleh orang lain.

Ah aku ini bodoh apa bagaimana?
Temanku berkata, anak polos kalo jatuh cinta terlalu tulus emang.
Tinggal nunggu dia menyesal.

Ada sedikit kutipan yang kutemukan di line (anak line) dan kusetujui maknanya.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari mempertahankan sesuatu yang ingin pergi, mencoba mempercaya sesuatu yang mengkhianati, mencintai sesuatu yang menyakiti hati. 

Dan aku mundur dari semua aktivitas yang cukup melelahkan hati dan menguras emosi ini.

(Fin, kalo kamu baca ini, kamu utang cerita sepanjang ini :pp) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.