Drama Hidup : Lupa Cara Kecewa

Aku masih duduk diam termangu di depan komputer.
Nothing to do.
Bukankah kegabutan adalah sebuah kepastian yang tak terelakkan untukku? Ah aku masih tak percaya ada orang yang berkata setega sejujur itu. Tapi, aku (masih) baik-baik saja.
Ingin menulis, tapi entah kenapa terlalu berat. Aku butuh tempat bercerita sekarang.
Tapi aku tak tau siapa ...  dan apa yang ingin aku ceritakan. Aku pun mencoba mencari video humor dan video agama, sebagai teman.
Sedikit menelisik, bagaimana hubunganku akhir-akhir ini dengan Sang Pencipta? Bagaimana hubunganku dengan keluarga? Dan bagaimana dhubunganku dengan dia? Oke point terakhir cuma intermezzo.

Baiklah Agustus telah berlalu.
Aku merasa pekan ini berjalan lama  ...  dan berat.
Mungkin - - -  kurasa aku kurang bersyukur.
Aku sempat meminta captain bercerita tapi nihil. Dia memang bukan type orang yang mudah untuk bercerita, tapi tak apa. Akan ada saatnya dia bercerita tanpa kuminta, aku masih menantinya.

Aku mencoba menghubungi sahabat lamaku, sekedar menanyakan kabar.
"Sibuk?" tanyaku secara virtual.
Dia langsung membalas tak ada waktu semenit "tergantung, gimana? mau telfon?". Aku masih enggan membalas, khawatir mengganggu kesibukannya hanya untuk mendengar keluhan tidak jelas dariku. Semenit kemudian ponselku menunjukkan panggilan masuk darinya, ahh semoga tidak akan panjang, batinku. Ia adalah orang keempat yang kuhubungi minggu ini, selama empat hari berturut-turut. Ini terasa sangat tidak wajar, karena biasanya aku hanya menghubungi 1-2 orang yang sama (atau bahkan tidak sama sekali) dalam satu minggu. Ditambah lagi, percakapan jarak jauh itu selalu berdurasi lebih dari satu jam bahkan yang paling parah sampai tiga jam.

"Ceritakan apapun, aku hanya ingin mendengar cerita sekarang, mungkin perlu sudut pandang yang berbeda," pintaku tiba-tiba saat mengawali percakapan. Bingung? Ya mungkin itu yang dia rasa, tapi pada akhirnya dia patuh juga, menceritakan tentang apa yang telah dia hadapi selama sebulan terakhir ini. Bahkan saking semangatnya, dia benar-benar mengabaikan kesibukan yang menemani akhir pekannya dan sempat berkata "kamu tak perlu paham apa yang aku ceritakan, cukup dengarkan saja," sebuah simbiosis mutualisme yang mungkin menginjak tahun kelima (atau enam?). Dan dia adalah pendengar sekaligus pemasok cerita yang cukup baik. Terkadang aku merasa geli jika ia berkata, "maaf aku menceritakan ini, tapi hanya kamu yang tau atau mungkin kamu orang pertama yang mengetahui ini,".
Selengkapnya tentang profil temanku ini, mungkin aku akan menceritakannya lain kali.


Sejenak aku terdiam, ada yang salah dengan diriku. Aku benar-benar membutuhkan seseorang sekarang.

Ada canda yang sedikit mengundang luka, tentang pencarian jodoh.
"Harusnya kamu yang cariin aku kenalan," 
"Halah, kamu kan udah ada yang nunggu,". Aku tersenyum kecut mendengar jawabannya. Dan mungkin dia merasakannya. Ahh hidupku tak seindah yang tertulis di Wattpad.
"Lupakan saja, aku juga tak ingin membicarakan tentang dia-mu. Sudah, sekarang giliranmu bercerita. Ada masalah apa?" tawarnya kemudian.
Meski berat aku mencoba menceritakan semuanya. Tentu tidak semua, ada beberapa bagian yang tidak bisa kubagikan.
"Aku kira, orang jahat itu hanya ada dalam cerita saja. Mengapa ada orang bisa berbuat tega dan jahat terhadap orang lain, harusnya mereka belajar dari cerita yang mereka lihat," keluhku di akhir cerita mengomentari orang-orang yang berkata pedas di dunia maya.
"Dengar, aku kurang setuju jika kamu menganggap orang lain jahat. Bagiku, tak ada orang yang benar-benar terlihat jahat, itu hanya persepsi mereka yang menganggap dirinya benar. Teknologi tak bisa disalahkan, yang harus diperbaiki itu penggunanya. Bukankah menulis tentang keburukan lebih sulit daripada menulis tentang kebaikan, seperti apa yang sering kamu tulis kan?" Hmm lagi-lagi dia berhasil membuatku merasa sedikit lebih baik.

Awal pekan sudah ada teman yang bercerita padaku hingga menumpahkan air mata.
Di pertengahan ada juga yang datang padaku mencoba berbagi rasa. Meskipun kami jarang bersama, tapi kehadiranku akhirnya ia anggap dan mulai mempercayaiku sebagai tempat berbagi cerita.
Mendekati akhir, orang yang lama tak bercerita denganku tiba-tiba duduk bersama dan bertanya "jadi, ada cerita apa sejauh ini?"
Dan di akhir, teman lama menanyakan kabar dan berguarau, "sudah lama aku tak bercerita padamu, aku ada cerita tapi sekarang mungkin belum saatnya".
Ingatanku merekap kejadian pekan ini.

Biarkan aku sedikit bermonolog :
Mungkin sifat lupa sudah merambah kemana-mana.
Bukan hanya short term memory.

Aku lupa cara kecewa.
Lupa cara melupakan seseorang ataupun sesuatu.
Lupa memberi maaf.
Lupa cara tertawa
Bahkan aku tak peduli dengan gengsi. Bagiku, jika kamu terlalu gengsi, kamu akan kehilangan apa yang kamu inginkan.
Dan pecundangnya aku, masih takut akan kehilangan.
Tapi, aku berharap tak akan pernah lupa cara bersyukur, karena itu kunci orang yang bahagia.


"Sampai jumpa bulan depan," pamit seseorang ramah.

Terdiam sejenak. Hari ini adalah hari terakhir di bulan yang selalu kutunggu, Agustus. Dan kebetulan hari terakhir bekerja. Jadi--- ucapannya benar.... Dan hanya kujawab dengan seulas senyuman.

Tapi jika yang diucapkan adalah kalimat perpisahan, aku sedikit menolak. Langkah kakinya yang tenang mencerminkan pembawaannya yang sederhana. Suaranya yang sering terdengar menyapa mencerminkan kepribadiannya yang hangat. Dan itu semua, hanya akan kudapatkan seminggu ke depan.

Lanjut?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Obrolan Setengah Serius