Cinta Ayah Untuk Anaknya

"Aku pernah sekali menangis, di pundak ayah," pesan itu terkirim bersamaan dengan lolosnya bulir-bulir dari kelopak mata. Tak ada niat tersembunyi, dia hanya ingin berbagi dengan seseorang yang ia percaya. Namun sayangnya, seperti biasa dia harus memakan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Lucu, dia masih bisa tersenyum. Ada sosok yang pura-pura bertahan agar tetap tegar di sana. Dengan tajam menatap langit-langit agar tak banyak lagi air mata yang lolos.

Di tengah kelemahannya dalam hal daya ingat, peristiwa 3-4 tahun lalu itu masih enggan meninggalkan memorinya. Sejak saat itu dia bertekad, "Yah, aku mau pergi untuk memperbaiki semuanya,". Pelukan itu masih terasa. Hangatnya. Tenangnya. Ah, dan satu sosok yang tiba-tiba kebingungan dengan apa yang terjadi pada saudara perempuannya.

-------------------------------------------------------------------

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... 
Suara takbir dari sound sebuah supermarket membuat seseorang membeku di sudut sana. Ada rasa sesak yang mulai menyelimuti. Ah ini bukan saatnya, malu di tempat umum. Langkahnya menuju pada kotak-kotak susu yang disusun rapi, ia pasti membutuhkan itu untuk memperbaiki mood dan pola makannya yang semakin memburuk. Ah, ini Lebaran Haji ketiga di tanah orang tapi ia masih belum cukup kuat untuk menyamai ayahnya.

Gema takbir di perantauan selalu berhasil membuat sendu. Bagaimana tidak, entah sudah berapa kali kulewat malam takbir tanpa sanak famili. Sungguh rindu ini tak sanggup aku pikul lagi. -  @dayatpiliang

-------------------------------------------------------------------

Oh ya, diantara menggemanya suara takbir, jangan lupa selipkan doa untuk saudara kita di Lombok. Aku pernah tak bisa tidur hanya karena merasakan gempa 4,7 SR saat tengah malam, sedangkan mereka? Hampir setiap hari gempa berkuatan 6-7 SR menyelimuti rutinitasnya, sungguh aku tak bisa membayangkan. Bagaimana paniknya mereka di sana, dan paniknya anggota keluarga mereka di luar sana.

Mumpung suasana Idul Adha, aku teringat beberapa kisah cinta yang tulus.
Dimana pedulinya tak bermaksud modus.
Pengorbanannya tak hanya setengah-setengah.
Cinta seorang ayah untuk keluarga, terutama sang anak.
Seperti kasih seorang ibu, cinta seorang ayah pun hanya memberi dan tak harap kembali.


Pertama, tentu di Hari Raya Idul Adha ini kita tak asing dengan kisah Nabi Ibrahim AS yang menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail AS, karena perintah Allah Swt. Hati ayah mana yang tega melakukan hal tersebut pada anak semata wayangnya, setan pun senantiasa berbisik untuk menggoda iman, menimbulkan keraguan. Dari keduanya kita belajar keikhlasan dan kepatuhan pada perintah Allah Swt. MasyaAllah.

Kedua, tak dapat dipungkiri, banyak dari kita yang takjub ketika acara Opening Asean Games 2018 beberapa hari yang lalu. Tahukah kalian aktor utama dibalik semua itu? Yak, Wishnutama. Di luar beragam prestasi dan wibawanya dalam dunia broadcasting, dia adalah pengayom bagi keempat anaknya. Aku melihat dari cara Kak Sabian dan Kak Sakina menjawab pertanyaan dengan cara yang berbeda, mungkin itu tak lepas dari didikan sang ayah. Aku tak mau cerita banyak, mungkin kalian lebih mengetahuinya. Kalian bisa melihat video obrolannya di Rasanya Jadi Anak Wishnutama


Ketiga, ini adalah efek kekosongan yang aku rasakan tanpa kehadiran seorang pegawai yang kuteladani. Dia yang kukenal paling akhir, namun paling sering menemaniku menghabiskan waktu hingga petang tiba. Ah, melihatnya bercengkrama dengan ketiga anaknya secara virtual adalah moment yang dapat membuatku tersenyum di seberangnya. Aku juga sering tak sengaja melihat beliau berusaha meluangkan waktu untuk membuat agenda dengan keluarganya. Pembawaannya tenang dan selalu merasa bahagia. Sikap ringan tangannya juga terkadang menjadi sumber kekuatan pegawai lain yang mungkin sedang menghadapi masalah. Akupun belajar bersikap bodo amat dengan orang yang memang dianggap tak penting untuk dipikirkan. Dia tak pernah mengajariku secara langsung, namun aku belajar dari bagaimana dia bertindak. Sesuatu yang kuharapkan darinya adalah kesehatan, aku hanya ingin melihatnya sehat dan melengkapi formasi kami. Karena selain kami, keluarganya pasti sangat membutuhkan sosoknya.

Keempat, diri ini juga merindukan keceriaan sosok sederhana yang akhir-akhir ini berjuang demi keluarganya. Aku semakin jarang bertemu dengannya, tapi entah kenapa beliau sering menyapaku. Dia satu-satunya orang yang menyapaku "mbak" secara tidak sadar, padahal aku jauh lebih muda dan baru daripada dia. Setiap bertemu, dia yang terlihat banyak pikiran itu entah kenapa memaksakan tersenyum ke arahku. Ibadahnya pun rajin. Ah, aku ingat, dia yang menanyakan mengapa aku bisa terlambat dan memberiku semangat karena jauh dari keluarga. Sedikit sesak melihat matanya memerah saat menceritakan tentang separuh jiwanya. Aku hanya berharap, semoga tulang rusuknya segera bisa sehat kembali.

Cukup segitu dulu. Kurasa aku tak perlu menceritakan perjuangan sosok lelaki yang mengandalkan tenaganya untuk mengantarkan kedua anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Sepertinya aku juga harus memberikan sedikit pengertian agar tak perlu merasa khawatir ataupun cemburu jika ada lelaki lain yang terlalu peduli terhadap anak perempuannya. Tenang saja ayah, selama belum ada yang berani bertemu denganmu dan menjabat tanganmu, lelaki itu tak lebih dari teman baikku.

Aku cuma bisa mendoakan kamu sehat dan bisa nyaman di sana. Kalau ada waktu pulang, pulanglah. - Ayah


Oh ya, kalian tak perlu bersedih jika ayah kalian tak sehebat ayah anak lainnya.  Beliau pasti telah berjuang dengan caranya masing-masing demi kalian. Semua orang punya hak untuk bahagia. Jika kalian laki-laki, jadilah ayah yang baik untuk anak kalian kelak. Dan jika kalian perempuan, pilihlah ayah yang baik untuk anak kalian nanti. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.