Day-5 : Aku Jatuh Cinta Dengan Cara Penjagaanmu

Assalamu'alaikum

Aku sempat berpikir ulang untuk menulis tentang ini. Merombak di beberapa bagian sebelum akhirnya tulisan ini tersaji di layar kalian. Tema yang kupilih di Day-5 kali ini memintaku untuk discuss your current relationship. Jika hubungan itu dikaitkan dengan suatu ikatan atau perasaan terhadap lawan jenis, aku menyerah, aku sama sekali tak berpengalaman di bidang itu. Hanya saja jika aku sedang sebut saja dengan kasmaran, maka teman-temanku akan riuh "wah fajar udah mulai ya hmm" atau "wah fajar mulai dewasa" atau "wah fajar bisa suka sama orang juga tah".. what the fu----nny. Aku tak mengerti apa yang mereka pikirkan tentangku dan aku memang tak peduli itu, tapi apakah aku salah jika memiliki perasaan seperti orang normal lainnya? Jawabannya NO. Itu fitrah, okay?

Jika boleh jujur aku memang belum pernah menjalin hubungan khusus yang booming disebut pacaran, tapi bukan berarti aku tak bisa menyukai seseorang. Tapi perlu digarisbawahi, dalam kamusku rasa suka, kagum, tertarik, simpati, atau bahkan ke yang lebih serius, cinta misalkan, itu memiliki takaran yang berbeda. Menurutku setiap orang bisa menyukai lebih dari satu orang karena karakter / sifat yang orang lain miliki. Tertarik? Ya, itu hanya segi fisik atau visual. Kagum? Menurutku itu karena ada keteladanan yang bisa diambil dari sosok itu. Cinta? Ah, aku masih belum sampai pada tahap itu. Ketertarikan pertamaku pada lawan jenis dimulai saat aku menginjak SMP, tapi kalau diingat ini bukan ketertarikan yang merujuk pada istilah "naksir", melainkan hanya sebuah kekaguman pada sosok aktivis masa itu. Beruntungnya, aku tak pernah sekelas dengannya selama tiga tahun, ah bertemu saja sangat terlihat kalau aku gugup. Aku hanya mampu melihatnya dari jauh. Kalau tidak salah, kini ia tengah menempuh pendidikan sarjana di Kota Jogja.

Meskipun rata-rata murid di SMA-ku adalah orang yang sama saat di SMP, tapi orang-orang dengan tingkat kecerdasan dan keberuntungan lebih memilih SMA di Kabupaten, termasuk dia, sehingga kami beda SMA. Akupun menyukai orang lain yang notabene mungkin cukup populer dari SMP yang berbeda. Beruntungnya lagi, aku tak pernah sekelas dengannya juga selama tiga tahun. Tapi kami menjalin komunikasi dengan baik layaknya teman biasa, sampai sekarang. Dia pun satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama yang berbeda, dia juga masih bertetangga denganku. Ya, kurasa aku hanya menyukainya secara visual, tidak lebih. Mana mungkin aku mau dengan orang yang telah punya kekasih? Ya, selama tiga tahun itu aku sering melihatnya bersama kekasihnya yang akhirnya menjadi kenal denganku saat tingkat akhir. So awkward. Menyedihkan bukan? Ah tentu tidak. Aku tak kekurangan kasih sayang. Masa putih abu-abu memang masih membuatku tabu akan cinta merah jambu. Namun, aku masih mempunyai teman-teman yang hingga sekarang selalu membersamaiku.

Lalu, akhirnya aku memutuskan ke luar kota untuk kuliah, mencari cerita baru dengan orang yang benar-benar baru. Jujur banyak orang kusukai dan kukagumi saat kuliah. Iya, hanya sebatas suka dan kagum. Belum berniat untuk melibatkan hati. Oh ayolah, di kampus ini aku banyak bertemu dengan orang-orang unik dengan segala kelebihan yang tak kutemui di saat aku SMA. Tapi, di awal memasuki ranah kuliah, aku tak sengaja tertarik dengan seseorang yang baru saja kulihat. Itu semua berawal dari ketidaksengajaan atau sebut saja kebetulan. Meskipun masa kuliahku tidak genap setahun, tapi aku menaruh rasa padanya cukup lama. Hitung saja sejak pendaftaran pertama (akupun tak tau apakah bisa satu kampus dengannya) hingga aku ditakdirkan untuk lulus mendahuluinya. Lucunya, mungkin hingga detik ini dia masih tak mengenalku. Mungkin bisa disebut, ini saat pertama aku mulai benar-benar ke arah merah jambu. Aku tak tahu apakah ini definisi cinta dalam diam sekaligus bertepuk sebelah tangan?
Alurnya bisa kalian baca di Cinta itu Kebetulan (1/3 : Perkenalan) dan Cinta itu Kebetulan (2/3 : Pertemuan)


Di awal tahun 2018, aku mulai bertemu dengan beberapa orang baru lagi. Aku tak menaruh rasa saat itu. Murni hanya mengagumi dan menganggap ia seperti kakakku sendiri. Entah angin dari mana, mungkin karena seringnya kami bersama, rasa itu mulai ada. Tapi beruntungnya, aku tidak menyiram rasa itu. Dalam diri kubentengi bahwa dia hanya kakakku. Yah, dia memang menganggapku seperti adiknya, dan baru kusadari, apakah ini yang dinamakan kakak adek zone? Tapi memang aku tak berharap lebih darinya, justru aku ingin dia mendapat seseorang yang jauh lebih baik dariku. Aku sangat senang bisa mengenalnya, sayangnya kebersamaan kami hanya berlangsung tiga bulan. SK memisahkan kami.

Aku pernah terlibat obrolan dengan teman tentang memilih antara yang mencintai atau dicintai. Mayoritas temanku mengiyakan untuk memilih dicintai  dengan satu dua pertimbangan (mengingat posisi sebagai perempuan), dari situ aku memutuskan untuk tidak terlalu menaruh rasa pada seseorang lagi. Awalnya aku merasa ini hal yang aneh untuk dibicarakan, tapi aku tepis pemikiran itu karena ya memang sudah sewajarnya memikirkan itu. Beberapa kali meminta pendapat tentang relationship, tentunya kusaring, mana yang boleh mana yang tidak, selama belum halal. Hingga akhirnya, aku merasa pintu hatiku diketuk, dan aku mencoba mempersilakan tamu itu masuk.

Seseorang yang seharusnya kukenal sejak dulu, malah baru kukenal saat kami terpisah. Aha, iya, aku tak terlalu merasa bersalah karena tak menyadari keberadaannya dulu, bukankah itu lebih baik? Aku tak terlalu melihatnya karena dia selalu menarik diri. Orang-orang pun selalu memujinya saat pertama kali bertemu dengannya membuatku sekilas melihat, "ah biasa saja, apa istimewanya dia?" pikirku saat itu yang memang belum berniat untuk kembali membuka hati. Entah, bahkan aku tak bisa melupakan bagaimana responnya setiap aku mencoba untuk berteman dengannya. Apa yang salah denganku, hingga ia terlihat sangat mengabaikanku? Ah masa bodoh, hariku tak kan hancur meski tanpanya, toh memang dia yang sukar diajak bersosialisasi, pikirku saat itu untuk menghibur diri. Aku pun tak bisa menghitung seberapa sering kami cross dalam membahas hal yang sederhana.

Waktu berlalu entah bagaimana hingga ia menjadi begitu cerewet. Mungkin bagi yang mengenalnya bisa mengira tulisanku ini hanya bualan, tapi sungguh ia sangat cerewet. Apalagi jika kamu berurusan dengan rasa ingin tahunya, wah maaf, mungkin aku tak bisa menolongmu, dia akan melakukan apapun untuk menjawab kekepoannya yang sering tidak penting itu. Aku sedikit merasa terganggu karena teman dekatku saja tak pernah se-spamers itu, lalu dia siapaku? Tapi aku suka, karena kehadirannya, aku tak pernah benar-benar merasa sendiri saat itu. Bisa saja orang menganggap dia adalah es karena sikapnya yang dingin dan irit bicara. Bagiku dia adalah batu, iya aku suka menganggapnya batu. Dia sangat susah untuk dibujuk atau diberi tahu. Dan kemauannya sangat kuat, apa yang ia cari harus ia dapat. Prinsipnya pun teguh. Tapi jangan bayangkan dia orang yang kasar, dia hanya semena-mena (terhadapku). Dan pada akhirnya ia mengaku menyukaiku. Iya, hanya suka, pikirku saat itu, dan mungkin sampai saat ini aku menganggapnya sebuah candaan yang tak lucu. Aku bisa apa? Bukankah setiap orang bisa menyukaiku? Iya, suka, suka karena salah satu sifat seperti tafsir yang ada di otakku. Kami pun tetap berteman, ya, aku juga suka berteman denganmu. Bukankah kau menyukai temanku? Dan teman kerjamu? Dan kaupun selama ini menganggap aku menyukai salah satu teman kita? Yang sebenarnya aku tak pernah menaruh rasa apapun pada orang yang kau curigai itu.

Aku pernah menanyakan kepada kawan tentang hubungan ini dan apa yang aku rasakan. Hubungan? Ah, kami hanya teman. Itulah yang selalu aku ucapkan pada rekan kerjaku saat ia mulai geleng-geleng karena tingkah tidak jelasku, akibat ulah batu satu itu. Terkadang ia bersikap manis seperti Caleg yang sedang orasi Pemilu untuk memenangkan hati rakyat. Setelah hati didapat? Rakyat terlupa dan terluka atas harapan yang ia ciptakan sendiri. Begitu juga aku. Aku pernah menerka apakah kamu adalah tamu yang akan singgah dan membimbing tuan rumah ini bersama menuju jannah-Nya.  Ah tinggi sekali. Aku siapa? Bukankah aku hanya seseorang yang asyik diajak ngobrol saja? Bahkan baru kusadari memang selayaknya kita berteman saja, bukankah kita lebih sering bertengkar daripada membahas sesuatu secara baik-baik? Apa aku kurang peka juga dengan penolakan halusmu agar aku bersama orang lain saja? Bodohnya aku, meski terluka, rasa itu masih belum pergi jua.

Aku Jatuh Cinta Dengan Cara Penjagaanmu
Ketika lelaki lain sibuk menchatting wanita untuk sekedar berbasa basi, kamu justru berusaha mempersingkat percakapan..

Ketika lelaki lain dengan mudahnya menyukai foto wanita-wanita cantik, kamu menjadi pemilih menyukai postingan mana yang akan kamu sukai..

Ketika lelaki lain dengan mudahnya memuji wanita lain, kamu lebih memilih mengingatkan pada diri sendiri bahwa wanita itu salah satu godaan iman..

Ketika lelaki lain sibuk mencari jodoh yang sholehah, kamu lebih memilih memperbaiki diri dan mengingatkan bahwa ajal juga bagian rahasia الله yang datangnya lebih pasti dari pada jodoh.. 

Untuk kamu, yang secara tidak langsung mengajariku bagaimana cinta itu harus dilabuhkan, bagaimana cara kita mencintai dengan tidak menduakan cinta kita kepada-Nya.. 

Terimakasih Untukmu Lelakiku💕
Aku selalu berdoa semoga aku bisa dijodohkan denganmu, karena aku tau bersama seseorang sepertimu surga terbayang dihadapanku. Dan jika tidak, aku selalu berdoa agar aku diberi keikhlasan olehnya, dan kamu akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hijrahku... 



Ya, terima kasih telah membuatku merasa istimewa dengan segala pencapaian yang kubuat terhadapmu. Iya, tenang saja, hanya perasaanku, bukan salahmu. Meski tak jarang, kau juga membuatku kecewa. Itu juga bukan salahmu. Kamu yang mengaku berbuat ini itu hanya padaku, membuatku terkadang merasa berpikir, aku ini istimewa atau hanya pelampiasan kebosananmu saja? Ah, masa itu telah berlalu.

Dan kesalnya aku, orang masih saja di pihakmu jika aku menceritakan tentang kisahku. Aku ingin bertanya, mantra apa yang kau pakai untuk menghipnotis mereka?

Kalau dia sedang berusaha menjaga, maka kamu harus lebih menjaga :) 
Mungkin aku hanya bisa mendoakan dia mendapat yang jauh lebih baik dariku. Meski ia tak ada kata terlalu sholih atau sholihah, akan ada saatnya menyerah.

Kamu beruntung banget. 
Apanya? Coba lagi!

Gak apa pergi, tapi kan nanti balik lagi. 
Ah dia tak janji akan kembali, maka dari itu aku sanksi menyimpan rasa ini.

Mungkin dia bingung antara mempertahankan prinsip idealismenya atau melepaskan sesuatu yang ia anggap sangat berharga.
Ingin tersedak aku dibuatnya. Berharga?  Aku memang merasa berharga jika dia menceramahiku dan mulai sangat peduli. Tapi, lagi-lagi itu hanya ilusi yang kubuat. Bukan benar-benar berharga di matanya. Ah rekanku berlebihan dalam membelanya.

Tentu saja bait terakhir karya tak bertuan itu hanya pemanis. Dia bukan (atau mungkin belum jadi?) lelakiku. Aku tak pernah benar-benar berharap dia adalah orangnya. Aku bisa apa?  Namun, aku benar-benar senang bisa mengenalnya, dan mungkin bisa menjadi bagian dari hidupnya, sebagai teman. Mungkin dia akan merendah atau juga menyalahkan ekspektasiku yang terlalu tinggi tentangnya. Ya beginilah aku, sangat berterima kasih pada orang yang berperan dalam hidupku, mungkin sempat mampir? Iya, mampir. Aku tak keberatan jika memang dia ingin pergi. Kamu benar. Aku yang salah. Karena bagaimanapun aku hanya perempuan yang mengandalkan perasaan. Tapi, aku tak menyesal pernah menaruh rasa padamu. Ah tidak sepenuhnya begitu, aku baru tahap belajar mencintaimu, syukurnya belum tenggelam terlalu dalam, nanti suamiku di masa depan bisa cemburu. Sudah kubilang, bukankah itu fitrah? Maaf, aku memang selalu mengalah darimu. Tapi ijinkan aku lancang untuk satu hal ini saja, aku tak mengalah untuk mengakuinya.

Mungkin pertimbanganku bertambah, bukan memilih lelaki yang mengetuk pintu hati, tapi berani mengetuk pintu rumah untuk bertemu ayah. Baru dia boleh mencoba mengetuk pintu hati.
Dan dari semua pengalaman ketertarikan itu, aku menyadari bentuk Yang Maha Penyayang. Aku selalu diberi 'jarak' ketika merasa ingin menaruh hati untuk seseorang, agar aku tak terlalu terluka jika memang dia bukan orangnya. Seperti kita ini, hanya bertemu sekali. Bukankah cinta yang sebenarnya hanya untuk pasangan halalku nanti?

Wah ini terlalu panjang, aku akan menyambungnya lain kali. Ehehe tentu saja menunggu niat yang pas. Masih banyak.

Spoiler untuk ending dari cerita ini?

Terkadang temanku bertanya. Gimana hubungan kalian?
Hah? Kami? Tak ada. Dan memang tak ada.  Seperti biasa, berantem lagi, di blokir lagi. Begitulah seterusnya.  Sampai meteor coklat jatuh ke ladang gandum hingga jadilah Coco Crunch. 

Dia itu teman macam apa? 

Wassalamu'alaikum. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Calon Ibu Mertua

Catatan Introvert #1

Sampai Jumpa, Yogyakarta.